Search

Home / Kolom / Editorial

Ulah Kepo Netizen Tak Selalu Buruk

Made Suteja   |    11 Maret 2023    |   20:31:00 WITA

Ulah Kepo Netizen Tak Selalu Buruk
Ilustrasi kepo (foto/tribunstyle)

TERBONGKARNYA sejumlah kasus harta tak wajar pejabat kehadapan publik, tak bisa dilepaskan dari ulah kepo atau dorongan rasa keingintahuan netizen yang rajin berselancar di jagat maya terutama media sosial (medsos).

Meski ulah kepo ini kerap dianggap sebagai perilaku negatif, namun ulah kepo netizen menelusuri berbagai aksi pamer kekayaan dan gaya hidup mewah pejabat dan keluarga justru berhasil membongkar tabiat culas oknum pejabat yang doyan menumpuk harta kekayaan dari sumber tak wajar. Bukan tidak mungkin jika kekayaan yang didapatkan oknum pejabat itu dari perbuatan culas menggarong uang rakyat alias korupsi.

Jadi tidak selalu ulah kepo netizen itu adalah hal buruk berbau negatif, justru pada kasus tertentu terutama menyangkut kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak sangatlah diperlukan.

Terbukti pada berbagai kasus yang mencederai akal sehat dan rasa keadilan masyarakat oleh kepongahan penguasa maupun aparat penegak hukum, setelah netizen kepo dan nyinyir barulah mendapatkan penyelesaian yang seharusnya.

Maka tak heran jika muncul celetukan di masyarakat kita, yang menyebut jika suatu kasus belum viral maka jangan harap mendapat perhatian apalagi adanya tindakan nyata dari penguasa ataupun aparat penegak hukum.  Tentulah celutakan ini bukan hal yang muncul tiba-tiba begitu saja, namun sesuatu cerminan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat kita.

Sebetulnya ulah kepo dan nyinyir netizen pada kasus tertentu mesti dinilai dari perspektif berbeda yang lebih luas. Yaitu sebagai bagian kepekaan sosial dan partisipasi publik terhadap isu-isu terkait kepentingan publik dan penegakan nilai-nilai prinsip demokrasi.

Modal sosial berupa kepekaan sosial yang ditunjukan netizen ini mesti dikelola secara tepat dan benar agar tidak kebablasan. Karena bagai sisi dua mata pedang, yaitu satu sisi sangat menguntungkan dalam penegakan nilai demokrasi yang membutuhkan peran kontrol sosial. Namun sisi lainnya, jika sampai kebablasan justru malah menimbulakan kegaduhan dan benih-benih disintergrasi bangsa sebagaimana halnya fenomena cebong dan kampret.

Maka itu sangatlah dibutuhkan kecerdasaan literasi bagi netizen kita. Ini dapat diawali dengan pendidikan leterasi digital dan juga etika bermedia sosial yang sehat. (*)

 

 


Baca juga: Meneladani Kesederhanaan Bung Hatta