PEREBUTAN posisi puncak atau ketua umum Partai Golkar saat ini tengah menjadi pemberitaan hangat di sejumlah media nasional. Wajar demikian, mengingat sejarah panjang partai politik berlambang pohon beringin ini telah menghadapi dan melewati berbagai fase gejolak politik di Tanah Air. Nyaris tidak ada partai politik di Indonesia yang sedinamis Partai Golkar, terkecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai Golkar dikenal merupakan kendaraan politik Orde Baru dipimpin Presiden Soeharto yang memerintah dengan gaya militer, untuk menguasai negara dengan mengikuti prosedur demokrasi. Saat Reformasi 1998, Soeharto yang berkuasa akhirnya digulingkan dari kursi kepresidenan. Namun, Golkar sendiri tetap eksis dan masih memegang peran penting dalam panggung politik dan kekuasaan di Indonesia, bahkan mungkin untuk dekade mendatang. Di awal-awal era Reformasi, Golkar sempat pula didesak untuk dibubarkan oleh kelompok masyarakat sipil prodemokrasi, karena dianggap sebagaia bagian integral dari rezim otoriter, Orde Baru. Tetap saja, Partai Golkar masih populer di kalangan pemilih. Terbukti, partai ini pada Pemilu 1999 menempati posisi kedua dalam perolehan suara setelah PDIP. Selama 24 tahun era Reformasi, kedigdayaan Golkar tak pula meredup. Partai ini tidak pernah berada di luar peringkat dua besar pada tiap pemilu, bahkan pada Pemilu 2024 sempat menjadi partai pemenang. Selain itu, Golkar juga tak pernah berada di luar lingkar kekuasaan seperti halnya saat masa Orde Baru. Sepertinya menjadi bagian dari kekuasaan adalah DNA politik mereka. Kini bagai mengulang peristiwa politik 20 tahun lalu persisnya tahun 2004, terlihat pada hasil Pemilu Legislatif 2024 ini meski diprediksi bukan sebagai partai pemenang namun paling berpeluang mendapatkan kembali jabatan Ketua DPR. Partai ini akan menggeser posisi PDIP sebagai pemimpin tertinggi di legislatif jika hasil rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengkonfirmasi bahwa perolehan suara Golkar lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diperoleh PDIP. Menurut undang-undang legislatif, jabatan ketua DPR akan diberikan kepada partai yang berhasil mengumpulkan kursi terbanyak, meskipun partai itu tidak berhasil memperoleh suara terbanyak. Hitung cepat menunjukkan bahwa PDIP memimpin pemilu legislatif dalam hal perolehan suara terbanyak. Namun, dominasi suara hanya terjadi di Jawa dan Bali. Jika penyebaran suara digunakan untuk mengkonversi suara menjadi jumlah kursi legislatif, maka PDIP mungkin akan kehilangan kursi ketua umum. Justru Golkar, yang kubunya tersebar di luar Pulau Jawa, berpotensi jadi ketua. Jika hal ini terjadi, PDIP lagi-lagi harus menyembunyikan wajah setelah tampil tidak mengesankan dalam pemilu presiden. Pada 1999, Golkar mendapatkan jabatan ketua DPR meskipun PDIP memenangkan pemilu legislatif. Pada 2014, PDIP gagal lagi meraih posisi Ketua DPR. Golkar tetap menjadi Ketua setelah partai politik tersebut mengamandemen UU MD3. Golkar melakukannya sebagai pembalasan atas kekalahan mereka dari PDIP dalam pemilihan presiden. Kemudian terkait pemilihan ketua umum Golkar, sepertinya akan kembali mengulang peristiwa pada 2004. Kini kubu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berhasil memenangkan Prabowo Subianto dengan pasangan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024, dikabarkan turut bermanuver memperebutkan posisi ketua umum. Ini persis seperti Jusuf Kalla yang memenangkan Pilpres 2004 sebagai wakil presiden berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil merebut posisi kursi puncak Partai Golkar. Sebetulnya, persaingan perebutkan kursi ketua umum ini tak lain untuk kembali secara tidak langsung menjadikan Golkar bagian dari kekuasaan. Tak beda, badai kali ini adalah semacam berkah yang bisa membuat Golkar menjadi salah satu bagian kelompok terkuat di lingkaran kekuasaan. (*) Oleh: I Nyoman Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media)
Baca juga:
Bebal