Tantangan Maskulinitas dalam Representasi Politik Perempuan
SURABAYA, PODIUMNEWS.com - Representasi perempuan dalam politik menghadapi hambatan berupa maskulinitas hegemonik dan patriarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan.
Akibatnya, kebijakan negara seringkali lebih mengutamakan isu-isu lain, sementara isu kesetaraan gender sering terpinggirkan.
Guru Besar Bidang Ilmu Politik Gender dan Representasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Prof Dr Dwi Windyastuti Budi Hendrarti dalam orasinya menegaskan pentingnya menumbuhkan kesadaran gender di institusi politik.
Orasi ini disampaikan saat pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR) pada Kamis (26/2/2025).
“Patriarki politik tercermin dalam anggapan bahwa perempuan kurang kompeten memegang jabatan publik."
"Tantangan maskulinitas dan patriarki tersebut memunculkan dilema ketika perempuan harus memilih antara menjaga integritas atau mengikuti praktik politik yang maskulin,” jelas Prof Dwi dalam orasinya yang berjudul Engendering Representasi Politik: Tantangan Terhadap Maskulinitas dan Patriarki Politik.
Meskipun kuota gender dan regulasi pemilu telah diterapkan, masih terdapat kendala dalam mendorong representasi substantif.
"Dalam konteks perempuan, representasi substantif menjadi penting agar kepentingan gender terakomodasi dalam kebijakan," sambungnya.
Representasi perempuan seharusnya diukur dari kemampuan wakil perempuan untuk bertindak atas kepentingan perempuan, atau yang disebut representasi substantif.
"Ini bukan hanya sekadar jumlah kehadiran atau politics of number, yang sering disebut representasi formalistik, deskriptif, atau simbolik," tegasnya.
Engendering representasi politik merupakan langkah esensial dalam membangun sistem politik yang inklusif dan berkeadilan.
"Artinya, representasi politik mengacu pada upaya yang disengaja untuk mempromosikan inklusivitas dan keseimbangan gender dalam sistem politik, institusi, dan proses pengambilan keputusan,” ucapnya.
Prof Dwi menyebutkan beberapa keuntungan penting dari engendering representasi politik.
Pertama, ini dapat mempromosikan kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan serta kelompok terpinggirkan, yang secara historis telah dikecualikan atau kurang terwakili dalam proses politik.
Kedua, engendering representasi politik dapat meningkatkan pengambilan keputusan yang mencerminkan kebutuhan dan pengalaman lebih dari 50 persen populasi perempuan dan kelompok terpinggirkan.
Ketiga, hal ini dapat membangun demokrasi yang benar-benar representatif dan mencerminkan demografi populasi yang dilayani.
Keempat, meningkatkan representasi perempuan berarti menantang stereotipe tentang kepemimpinan yang selama ini didominasi laki-laki.
Kelima, langkah ini juga mendukung komitmen internasional dalam tujuan SDGs ke-5 mengenai kesetaraan gender.
Terakhir, partisipasi perempuan dalam politik dan perdamaian dapat memperkuat resolusi konflik dan membangun perdamaian yang inklusif serta berkelanjutan.
Dengan menumbuhkan kesadaran gender dalam institusi politik, harapannya representasi perempuan tidak lagi hanya bersifat simbolik, melainkan benar-benar mencerminkan kepentingan dan kebutuhan mereka dalam proses pengambilan kebijakan. (fathur)