Kartu Merah Wisman Ugal-ugalan
Debu Kuta menari bersama aroma dupa dan keringat, di tengah deru motor yang pecah oleh tawa turis, kesunyian pura tergerus, norma luhur terancam, dan di jantung Bali, Gubernur Koster angkat "kartu merah," deklarasi perang terhadap wisatawan "ugal-ugalan," sebab kesabaran habis, Bali siap menari di atas bara, "Cukup sudah," bisiknya, "Pulau ini jiwa kami, bukan tempat sampah."
PULAU Dewata, yang selama ini diagungkan sebagai magnet pariwisata dunia, kini harus mengambil langkah tegas. Kesabaran masyarakat dan pemerintah daerah terhadap perilaku wisatawan mancanegara (wisman) yang kian meresahkan mencapai titik nadir. Gubernur Bali, Wayan Koster, menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2025, sebuah "kartu merah" simbolik, untuk mengakhiri praktik "ugal-ugalan" wisman di pulau ini.
Aturan ini bukan sekadar peringatan, melainkan penegasan batas. Daftar larangan yang termuat dalam SE, mulai dari larangan memasuki pura tanpa busana adat hingga tindakan tak sopan di ruang publik, mencerminkan kejengkelan Bali terhadap pelecehan budaya dan norma lokal.
"Kartu merah" ini juga merupakan ancaman sanksi nyata. Wisman yang melanggar akan menghadapi konsekuensi hukum, dari denda administratif hingga tuntutan pidana. Mereka yang lalai membayar pungutan wisatawan asing (PWA) akan ditolak layanannya di destinasi wisata.
Langkah ini bukanlah tanpa dasar. Bali, sebagai pusat peradaban budaya, merasa wajib melindungi warisan leluhurnya dari "kenakalan" wisatawan. Visi pariwisata yang berkualitas, bermartabat, dan berbasis budaya menjadi harga mati.
Namun, efektivitas "kartu merah" ini masih dipertanyakan. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten adalah syarat mutlak. Peran aktif masyarakat dalam melaporkan pelanggaran juga krusial.
Di sisi lain, edukasi tentang penghormatan terhadap budaya lokal harus digalakkan. Sinergi antara pemerintah dan pelaku industri pariwisata diperlukan untuk menyosialisasikan aturan ini sejak wisman tiba di Bali.
"Kartu merah" ini adalah peringatan bagi semua pihak dalam industri pariwisata. Ini adalah momentum untuk merevisi arah pariwisata Bali, agar tak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada pelestarian budaya dan tradisi.
Bali, dengan segala pesonanya, adalah warisan berharga. Warisan ini harus dijaga dan dilestarikan, bukan dinodai oleh perilaku wisman yang "ugal-ugalan." (*)