Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Jejak Hormat di Papan Nama

Oleh Nyoman Sukadana • 11 November 2025 • 20:19:00 WITA

Jejak Hormat di Papan Nama
Gubernur Koster bersama Konjen Australia Jo Stevens meresmikan papan nama Konsulat-Jenderal Australia yang kini menggunakan aksara Bali sebagai bentuk penghormatan budaya. (foto/sukadana)

ADA banyak cara menunjukkan rasa hormat. Kadang ia hadir dalam kata, kadang dalam tindakan sederhana yang justru meninggalkan kesan paling dalam. Peresmian papan nama Konsulat-Jenderal Australia di Bali dengan aksara Bali adalah salah satu contohnya. Sebuah gestur kecil di permukaan, tetapi menyimpan makna besar bagi kebudayaan yang dijunjung masyarakat Bali.

Aksara Bali bukan sekadar huruf yang terukir di papan nama. Ia adalah jejak perjalanan panjang peradaban, warisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika Gubernur Bali menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2018, pesan yang ingin ditegaskan sangat jelas. Budaya hanya bisa hidup jika ia hadir dalam keseharian. Aksara hanya bisa bertahan jika ia tetap dibaca, dilihat, dan digunakan.

Karena itu, keputusan Konsulat-Jenderal Australia untuk memasang papan nama dengan aksara Bali telah melampaui kewajiban formal. Secara hukum mereka tidak diwajibkan. Secara diplomatik mereka tidak didesak. Namun mereka memilih melakukan itu sebagai bentuk penghargaan yang tulus kepada budaya lokal.

Pilihan ini menunjukkan pemahaman bahwa hubungan dua bangsa tidak hanya ditegakkan oleh perjanjian. Ia juga tumbuh melalui sikap saling menghormati dan kesediaan untuk mengenali identitas satu sama lain. Apa yang dilakukan Konsulat-Jenderal Australia menjadi teladan bahwa diplomasi kebudayaan tidak harus berlangsung dalam forum resmi. Ia bisa dimulai dari mengakui rumah tempat kita berpijak.

Bali selalu memiliki tempat khusus di hati masyarakat Australia. Ratusan ribu wisatawan Australia datang setiap tahun, bukan hanya untuk matahari dan pantai, tetapi untuk merasakan suasana budaya yang tidak ditemui di tempat lain. Ketika aksara Bali berdiri berdampingan di dinding kantor diplomatik mereka, ada pesan yang terucap secara halus. Australia melihat Bali bukan sekadar tujuan wisata. Bali dipandang sebagai sahabat yang layak dihormati sekaligus dijaga.

Gubernur Bali memberikan apresiasi yang besar, dan wajar jika ia menyampaikan harapan agar kantor-kantor perwakilan lain mengikuti langkah serupa. Bukan untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk memperkuat rasa hormat pada budaya yang selama ini menjadi fondasi harmoni pulau ini.

Editorial ini mengajak kita melihat lebih jauh. Aksara Bali yang terpasang di papan nama itu seharusnya menjadi pengingat bahwa pelestarian budaya tidak mungkin berjalan sendirian. Ia memerlukan dukungan, baik dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun pihak luar yang bersentuhan langsung dengan Bali. Sebab budaya hidup di ruang yang luas. Ia bertahan ketika dihargai oleh siapa saja yang singgah.

Peresmian papan nama Konsulat-Jenderal Australia mungkin tampak sederhana. Namun dari sana kita belajar bahwa penghargaan terhadap budaya bisa dimulai dari langkah kecil yang tulus. Bali patut berbangga. Dan dunia, pelan-pelan, kembali diajak mengingat bahwa aksara Bali bukan hanya tulisan. Ia adalah identitas. Ia adalah suara masa lalu yang masih berbicara di masa kini. (*)