Ketapang Tersendat, Bali Terhambat
SETIAP kali antrean kendaraan mengular di Pelabuhan Ketapang, yang tersendat bukan hanya arus lalu lintas di Banyuwangi. Yang terguncang adalah denyut logistik Pulau Bali yang bergantung pada kelancaran arus barang dari Jawa. Ketika kapal tertahan berjam-jam di dermaga, Bali ikut menanggung akibatnya. Bahan pokok terlambat, biaya distribusi naik, dan ritme ekonomi terganggu dari pasar tradisional sampai hotel dan restoran.
Masalah di lintasan Ketapang–Gilimanuk bukan insiden sesaat, melainkan pola berulang yang muncul setiap musim libur dan periode puncak. Infrastruktur pelabuhan belum berkembang seturut laju mobilitas. Jumlah dermaga dan kapasitas angkut tidak memadai untuk volume kendaraan harian, terutama angkutan barang. Akibatnya, keterlambatan di hulu langsung dirasakan di hilir. Pasokan sayur, beras, daging, dan bahan bakar tersendat. Pelaku usaha menanggung ongkos tambahan dari waktu tunggu, bahan cepat rusak, serta biaya alternatif yang tidak efisien.
Dalam ekosistem ekonomi Bali yang sangat bertumpu pada pariwisata, stabilitas logistik adalah syarat dasar. Wisatawan mungkin tidak melihat antrean di pelabuhan, tetapi mereka merasakannya melalui kenaikan harga menu, keterlambatan pengiriman bahan baku restoran, hingga kelangkaan produk yang biasa tersedia. Efek domino itu mencapai Denpasar, Badung, Gianyar, hingga wilayah selatan yang menjadi pusat layanan pariwisata. Satu hambatan di Ketapang dapat memicu rangkaian konsekuensi pada banyak mata rantai usaha dan tenaga kerja.
Langkah mitigasi yang disiapkan pemerintah seperti optimalisasi buffer zone, pembatasan kuota tiket, penataan antrean, penundaan kendaraan di titik akses, serta peningkatan kapasitas melalui kapal perbantuan patut diapresiasi. Namun pendekatan reaktif tidak boleh menjadi pola tetap. Lintasan Ketapang–Gilimanuk adalah jalur strategis nasional yang menopang perekonomian Bali. Karena itu, dibutuhkan tata kelola berbasis data, dasbor pemantauan antrean secara waktu nyata, integrasi sistem tiket, serta koordinasi yang ajek antara pengelola pelabuhan, kepolisian, operator kapal, dan pelaku logistik.
Selain itu, penataan jadwal dan penambahan ritase kapal perlu dirancang dengan tolok ukur layanan yang jelas. Penegakan disiplin waktu sandar dan bongkar muat harus konsisten. Informasi kepada pengguna jalan melalui papan pesan variabel di koridor menuju pelabuhan perlu dioptimalkan agar pergerakan dapat diatur sejak jauh hari. Pada saat yang sama, opsi rute pendukung dan pelabuhan penyangga di wilayah sekitar layak dipertimbangkan sebagai strategi mengurangi beban satu simpul.
Pelabuhan Ketapang adalah paru-paru ekonomi bagi Pulau Dewata. Dari sanalah udara logistik dipompa menuju jantung pariwisata, perdagangan, dan kebutuhan dasar warga. Setiap kali pelabuhan ini sesak, Bali ikut terengah menjaga ritme ekonominya. Karena itu, memperkuat Ketapang bukan semata urusan Banyuwangi atau Kementerian Perhubungan. Ini kepentingan nasional yang menyangkut keberlanjutan ekonomi lintas pulau.
Kini saatnya berpindah dari kebijakan tambal sulam menuju sistem yang tangguh dan adaptif. Pelabuhan harus dikelola sebagai simpul cerdas dengan standar layanan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika Ketapang terus tersendat, denyut logistik Bali akan melemah. Dan bila Bali melemah, dampaknya menjalar ke penerimaan daerah, lapangan kerja, dan kepercayaan publik terhadap kesiapan Indonesia sebagai destinasi yang terhubung serta andal. Tugas kita jelas. Pastikan roda logistik berputar lancar dari ujung timur Jawa hingga pesisir selatan Bali, tanpa jeda yang tidak perlu. (*)