Tolak Investasi Perusak
PERINTAH tegas Gubernur Bali Wayan Koster untuk membongkar total proyek lift kaca (Glass Viewing Platform) di Kelingking Beach, Nusa Penida, adalah pernyataan filosofis yang jelas dan krusial. Keputusan ini, yang didasarkan pada temuan lima pelanggaran berat oleh PT Indonesia Kaishi Tourism Property Investment Development Group, secara efektif menarik garis batas yang tidak dapat dinegosiasikan: Bali menyambut modal, tetapi menolak investasi yang eksploitatif dan merusak.
Klarifikasi Gubernur Koster bahwa Pemerintah Provinsi Bali tidak bersifat anti-investasi menjadi kunci narasi ini. Sebaliknya, tindakan keras tersebut adalah penegasan standar baru bagi investasi berkualitas di Pulau Dewata. Koster menekankan prinsip legalitas, kepatutan, dan kepantasan sebagai syarat mutlak. Bali tidak lagi mencari investasi kuantitas, tetapi kualitas, yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan alam, manusia, serta kebudayaan lokal secara bijak. Proyek lift kaca, yang ambisius namun cacat hukum dan merusak keorisinilan Daerah Tujuan Wisata (DTW), adalah antitesis dari prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut.
Kasus Kelingking Beach adalah pelajaran mahal tentang konsekuensi mengabaikan hukum tata ruang dan konservasi. Pelanggaran yang ditemukan tidak sekadar masalah administratif, tetapi mengakar pada isu fundamental: Tata Ruang (membangun di sempadan jurang dan Kawasan Konservasi Perairan), Lingkungan Hidup (tidak memiliki izin lingkungan), dan Pariwisata Berbasis Budaya (merusak keorisinilan DTW).
Pelanggaran terhadap keorisinilan budaya, yang diatur dalam Perda Bali Nomor 5 Tahun 2020, memiliki konsekuensi hukum yang keras, bahkan potensi sanksi pidana. Hal ini menegaskan bahwa bagi Bali, nilai-nilai budaya dan kelestarian lanskap alam memiliki nilai ekonomi dan filosofis yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan jangka pendek sebuah proyek. Langkah Pemprov ini adalah upaya untuk mencegah Bali menjadi destinasi yang serba buatan (inauthentic), sebuah risiko yang selalu menghantui destinasi yang terlalu cepat mengomersialisasikan keindahan alaminya.
Penerbitan ultimatum pembongkaran mandiri dalam enam bulan, dengan ancaman pembongkaran paksa oleh Pemprov dan Pemkab Klungkung, adalah mekanisme penegakan hukum yang paling keras dan efektif. Seluruh biaya pembongkaran harus ditanggung investor. Ini adalah efek jera yang sangat kuat, memastikan bahwa kerugian finansial akibat pelanggaran hukum sepenuhnya ditanggung oleh pelaku, bukan oleh kas daerah.
Keputusan tegas ini, yang didukung rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) TRAP DPRD Bali, menunjukkan sinergi politik yang kuat antara eksekutif dan legislatif dalam melindungi kedaulatan tata ruang Bali. Sinergi ini diperlukan untuk memastikan bahwa reformasi dan kebijakan pariwisata berkualitas bukan sekadar jargon, tetapi diimplementasikan dengan penegakan hukum yang tak pandang bulu.
Di masa depan, Pemprov Bali perlu memperkuat pengawasan di hulu perizinan. Kasus Kelingking Beach menggarisbawahi urgensi untuk memperketat validasi lapangan dan memastikan tidak ada lagi celah sistem perizinan yang bisa dimanfaatkan, terutama di kawasan sensitif seperti Nusa Penida. Tindakan tegas hari ini di Kelingking Beach adalah investasi untuk masa depan Bali yang berkelanjutan, memosisikan pulau ini sebagai destinasi yang memprioritaskan konservasi di atas eksploitasi. (*)