Hukum Menyapa Zaman Baru
INDONESIA hari ini mencatat babak baru dalam perjalanan hukum acaranya. Pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru bukan sekadar pergantian regulasi, melainkan tonggak transformasi sistem peradilan pidana yang telah lama dinanti. Empat puluh empat tahun lamanya KUHAP lama menjadi rujukan. Dalam rentang itu, teknologi berubah, cara pandang masyarakat bergeser, dan kebutuhan keadilan berkembang. Kini, setelah melalui proses panjang dan melibatkan banyak pihak, hukum acara pidana Indonesia resmi menyapa zaman baru.
Keputusan DPR RI yang diambil secara aklamasi dalam rapat paripurna menunjukkan kesadaran kolektif bahwa hukum tidak boleh diam di tengah percepatan perubahan. Negara membutuhkan perangkat peradilan yang modern, akuntabel, dan berpihak kepada perlindungan hak-hak warga negara. Itulah semangat yang semestinya ditanamkan dalam KUHAP baru ini. Bukan hanya sebagai aturan prosedural, tetapi sebagai fondasi keadilan yang lebih transparan, adaptif, dan manusiawi.
Hukum acara pidana adalah wajah negara saat berhadapan dengan warganya. Di sanalah uji sesungguhnya tentang bagaimana negara menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kemanusiaan. Dalam KUHAP baru ini, tersimpan harapan tentang proses hukum yang lebih jelas, lebih terbuka, dan tidak lagi sekadar menegakkan ketertiban, tetapi juga menjamin martabat. Prinsip fair trial, penguatan hak tersangka dan korban, hingga pemanfaatan teknologi dalam proses peradilan harus menjadi ruh yang terasa di lapangan, bukan hanya tertulis di atas kertas.
Namun, keberadaan undang-undang saja tidak cukup. Ini baru pintu, belum perjalanan. Tugas besar justru menanti ketika aturan ini mulai diterapkan pada 2 Januari 2026. Penyesuaian aparat penegak hukum, kesiapan infrastruktur, serta literasi hukum masyarakat akan menentukan berhasil tidaknya reformasi ini. Di titik inilah kolaborasi lintas institusi menjadi kunci. Hukum acara pidana tidak boleh menjadi jargon teknokratis yang jauh dari kehidupan nyata warga. Ia harus terasa, dipahami, dan dipercaya.
Pembaruan KUHAP adalah kesempatan bagi negara untuk memperbaiki cara ia memperlakukan warganya dalam proses hukum. Kesempatan untuk memastikan bahwa keadilan bukan sekadar hasil akhir, tetapi hadir sejak awal, sejak pintu penyelidikan dibuka hingga palu hakim diketuk. Kesempatan untuk membuktikan bahwa negara berani mengevaluasi diri dan menyesuaikan langkah dengan tuntutan zaman.
Kita kini berada di persimpangan: apakah KUHAP baru akan menjadi sekadar tumpukan pasal, atau menjadi napas baru bagi keadilan di negeri ini. Sejarah selalu mencatat bahwa hukum yang kuat adalah hukum yang hidup dalam kesadaran publik, bukan hanya tersimpan dalam lembar negara.
Saatnya memastikan KUHAP baru tidak hanya mengganti teks, tetapi benar-benar memperbarui cara kita memahami dan memperjuangkan keadilan. Di sanalah martabat hukum Indonesia dipertaruhkan. (*)