Badung Atasi Regulasi, Lansia Dapat Rp12 Juta
NIAT politik Pemkab Badung untuk memberikan insentif bulanan bagi Lansia terbentur regulasi teknis. Komitmen ini kandas saat program harus diimplementasikan melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Badung. Regulasi secara ketat membatasi kewenangan dinas tersebut, hanya mengizinkan pemberian bantuan berupa dana sekali jika berstatus penghargaan, bukan insentif rutin bulanan.
Inilah inti dari kebuntuan fiskal dan regulasi daerah: Anggaran sudah siap di APBD 2026, tetapi mekanisme penyaluran bulanan yang diinginkan ilegal jika menggunakan payung hukum Dinkes. Pemkab Badung memilih jalan adaptasi hukum dengan mengubah karakter bantuan menjadi penghargaan ulang tahun yang disalurkan setahun sekali (akumulasi Rp12 Juta). Solusi ini melegalkan komitmen tetapi memindahkan risiko operasional.
Hambatan Struktural Implementasi Kebijakan
Inti permasalahan terletak pada konflik antara tujuan kebijakan (kesejahteraan rutin) dengan struktur birokrasi pelaksana. Kepala Dinkes Badung, dr I Made Padma Puspita, mengonfirmasi bahwa regulasi membatasi kewenangan dinasnya, menjadikannya terhambat oleh batasan struktural yang kaku.
Dalam kerangka Implementasi Kebijakan Top Down yang dipopulerkan oleh George C Edwards III, struktur birokrasi menjadi salah satu hambatan utama. Kegagalan terjadi ketika struktur Dinkes yang terikat regulasi tidak kompatibel dengan tujuan awal. Regulasi pusat yang kaku mengenai jenis belanja dan kewenangan dinas memaksa Pemkab mencari jalan keluar yang tidak konvensional.
Pemkab merespons dengan adaptasi: dana Rp1 Juta per bulan diakumulasikan menjadi Rp12 Juta, dan statusnya diubah menjadi "penghargaan tahunan" yang disalurkan sekali. Ini adalah cara Pemkab mengatasi kegagalan Struktur dan Sumber Daya (legalitas penyaluran dana APBD). Adaptasi ini menunjukkan kecerdasan Pemkab dalam mengubah prosedur formal untuk memecahkan kebuntuan legal.
Namun, Peraturan Bupati (Perbup) yang saat ini disusun harus menjadi legitimasi kuat. Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, menegaskan bahwa Perbup ini harus secara eksplisit mendefinisikan reward Rp12 Juta sebagai apresiasi tahunan, bukan bantuan sosial rutin. Solusi ini melegakan birokrat tetapi menguji daya tahan ekonomi Lansia.
Analisis Risiko Ekonomi Perilaku
Meskipun lolos secara legal, skema akumulasi ini menciptakan tantangan baru terhadap prinsip Efektivitas. Risiko muncul dari aspek ekonomi perilaku (behavioral economics) dan manajemen risiko finansial Lansia saat menerima dana sebesar Rp12 Juta sekaligus.
Lansia sangat rentan. Risiko penyalahgunaan atau habisnya dana untuk kebutuhan non-esensial dalam waktu singkat sangat tinggi. Apabila ini terjadi, skema ini gagal memenuhi kebutuhan rutin Lansia. Sebuah studi kasus sering menunjukkan bahwa penerima bantuan lump sum (pembayaran tunggal dalam jumlah penuh sekaligus) cenderung menghadapi kesulitan finansial lebih cepat dibandingkan penerima bantuan rutin.
Situasi ini menuntut adaptasi pada tingkat operasional atau organizational learning. Dalam kerangka Teori Aksi oleh Chris Argyris, birokrasi harus belajar dari kegagalan. Pemkab sudah berhasil melakukan single loop learning (solusi legal), namun kini harus didorong melakukan double loop learning yang lebih dalam, mengubah asumsi dasar kebijakan untuk menjamin dana Rp12 Juta itu benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Tantangan ini juga berkaitan dengan isu Responsivitas. Jika tujuan program adalah asupan gizi dan obat-obatan bulanan, skema tahunan ini tidak responsif. Kebutuhan warga akan terganggu selama 11 bulan masa tunggu. Oleh karena itu, Pemkab harus mengembangkan mekanisme pendampingan yang intensif untuk menjembatani kesenjangan antara penyaluran dana tahunan dengan kebutuhan harian Lansia.
Kunci Integrasi Tata Kelola
Keberhasilan skema ini sangat bergantung pada intervensi sosial yang dirancang dengan baik, sesuai dengan prinsip Akuntabilitas dan Partisipasi dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Peraturan Bupati (Perbup) yang kini tengah disusun wajib mengintegrasikan program pendampingan sosial dan edukasi finansial secara komprehensif.
Hal ini menjamin skema ini tidak hanya menjadi kebijakan distributif (memberikan uang) tetapi juga memiliki efek regulatori (mengatur penggunaan dana) dan redistributif (meningkatkan kesejahteraan secara nyata), sesuai klasifikasi kebijakan Theodore J. Lowi. Untuk mencapai akuntabilitas dan efektivitas, pendekatan harus melibatkan Dinas Sosial, Tim Penggerak PKK, dan pihak keluarga Lansia dalam pengawasan. Akuntabilitas lintas sektor ini krusial.
Perbup harus mengatur sanksi bagi pihak yang menyalahgunakan dana, sekaligus menyediakan pelatihan manajemen keuangan mikro. Prinsip Partisipasi harus dijalankan dengan meminta masukan dari komunitas Lansia sebelum Perbup disahkan, untuk memastikan skema ulang tahun ini benar-benar disukai dan mudah diakses oleh penerima manfaat. Tanpa integrasi lintas sektor yang kuat dan mekanisme feedback loop dari masyarakat, skema Rp12 Juta berisiko tinggi hanya menjadi pemenuhan janji politik tanpa dampak kesejahteraan yang berkelanjutan. Solusi Badung ini memang berhasil mengatasi masalah Struktur Birokrasi, namun tantangan sebenarnya adalah bagaimana Pemkab kini mengatasi masalah Manajemen Sumber Daya pada tingkat penerima. (*)
Menot Sukadana