Bayang Asing di Atas Tanah Bali
SEBUAH rumah kayu bertingkat di Canggu menjadi saksi percakapan yang tampak biasa tetapi menyimpan persoalan besar. Seorang perempuan asing berambut pirang menunjuk vila mewah yang baru selesai dibangun di seberang jalan sambil mengatakan bahwa bangunan itu juga miliknya. Ia menyerahkan kartu nama agensi properti tempatnya bekerja. Sertifikat vila itu tercatat atas nama warga lokal dari Desa Abianbase. Namun menurut perempuan tersebut, nama lokal itu hanya dipinjam demi urusan dokumen.
Bayang asing seperti itu menjalar ke banyak titik Bali. Vila-vila baru, restoran bersusun kaca, hingga bangunan tinggi muncul seperti bayang panjang yang menutupi kampung-kampung adat. Skema nominee arrangement mempercepat laju kapital asing memasuki ruang agraria Bali, menempatkan warga lokal hanya sebagai pemilik di atas kertas, sementara kendali sesungguhnya berpindah ke investor asing.
Kontradiksi ini bersandar pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menegaskan bahwa hak milik atas tanah hanya boleh dimiliki warga negara Indonesia (WNI). Namun celah praktik hukum memunculkan mekanisme pinjam nama. Investor asing menyediakan modal penuh, lalu memaksa warga lokal menandatangani akta-akta di bawah tangan seperti kuasa menjual permanen dan pengakuan utang fiktif setara nilai tanah. Kendali berpindah tanpa jejak yang tampak dalam sertifikat.
Guru Besar Hukum Agraria, Prof. I Nyoman Nurjaya, telah lama mengingatkan bahwa praktik ini adalah bentuk penyelundupan hukum. “Praktik nominee adalah penyelundupan hukum. Semua perjanjiannya batal demi hukum sejak awal,” ujarnya. Ia menyebut skema itu sebagai pengkhianatan terhadap filosofi UUPA yang menempatkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali, I Made Daging, sejalan dengan pandangan itu. Ia menegaskan bahwa warga asing hanya dapat menguasai tanah melalui Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang diperoleh lewat Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PMA). “Selain dua skema itu, bentuk penguasaan yang lain tidak diakui,” katanya.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, menyoroti perizinan investasi yang terlalu longgar. “Norma yang diatur pemerintah pusat berlaku umum, padahal di bawah kita punya Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang seharusnya menjadi acuan utama,” ujarnya. Ia menilai sistem perizinan pusat sering mengabaikan tata ruang Bali. Dalam pernyataan lain, Koster menambah bahwa “untuk Bali, angka sepuluh miliar terlalu rendah. Kami usulkan dinaikkan menjadi seratus miliar agar investor asing yang masuk benar-benar berkualitas.”
Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, menggarisbawahi bahaya transaksi asing yang memanfaatkan mekanisme digital tanpa jejak yang jelas. “Mereka bisa bertransaksi di negaranya. Ketika datang, dia bilang itu keluarganya. Itu permainan,” ucapnya. Ia menegaskan bahwa pemerintah tengah menyelesaikan kajian Peraturan Daerah soal nominee. “Tujuan kami sederhana, agar masyarakat Bali tetap menjadi tuan di rumahnya sendiri.”
Kapital Asing Menguasai Ruang
Gelombang permintaan dari warga negara asing (WNA) menciptakan distorsi besar pada pasar properti Bali. Kabupaten Badung mencatat lonjakan permintaan lebih dari sembilan puluh persen pada 2023, sedangkan Denpasar melampaui delapan puluh persen. Lonjakan ini membuat harga tanah meroket hingga delapan ratus juta rupiah per are, nilai yang tidak sebanding dengan kemampuan daya beli warga lokal.
Fenomena ini mendorong ketimpangan generasi. Banyak anak muda Bali tak lagi mampu membeli rumah di wilayah tempat mereka lahir. Tanah warisan dijual untuk kebutuhan jangka pendek, sementara keluarga-keluarga adat terdorong ke pinggir kota. Wacana Balinese Exodus bermunculan, merujuk pada potensi tersingkirnya warga lokal dari ruang hidupnya sendiri.
Jejak kapital asing juga meninggalkan celah fiskal. Dalam sejumlah transaksi nominee, pembayaran dilakukan melalui mekanisme luar negeri sehingga negara kehilangan potensi Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Ekspansi properti akhirnya tidak diimbangi kontribusi fiskal yang memadai untuk pengawasan dan tata ruang.
Budaya Bali Tersingkir Perlahan
Selain efek ekonomi, kerusakan budaya menjadi ancaman yang kian nyata. Tanah bagi masyarakat Hindu Bali adalah simpul spiritual yang menyatukan Subak, ritual adat, dan keseimbangan alam. Namun pembangunan agresif menggerus sendi itu. Vila berdiri terlalu dekat dengan sungai, restoran menjorok ke arah pantai, sawah produktif berubah menjadi kluster vila, dan jalur Subak terputus oleh dermaga pribadi maupun kolam renang. Bayang asing tidak lagi samar, melainkan menutupi lanskap budaya dan ekologi Bali.
Ketua Fraksi Demokrat–NasDem DPRD Bali, Dr Somvir, menyoroti praktik tersebut. “Masalah nominee sudah lama. Kalau mengikuti hukum kan jelas, warga asing bisa membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau PMA. Tapi kenyataannya banyak memakai nama orang lokal,” ujarnya. Ia menambahkan soal manipulasi nilai transaksi: “Misalnya kalau beli tiga miliar, ditulis satu miliar saja. Itu permainan. Yang rugi jelas pemerintah.”
Di tingkat nasional, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, menegaskan sikap pemerintah pusat. “Yang diperbolehkan adalah kerja sama pengelolaan, bukan kepemilikan tanah oleh orang asing.” Direktorat Jenderal Imigrasi juga telah mendeportasi sejumlah WNA yang mengaku memiliki hak milik. Namun langkah itu masih bersifat pasca-kejadian, belum menyentuh akar persoalan.
Kedaulatan Agraria Kian Rapuh
Krisis ini tidak bisa selesai dengan penanganan acak. Diperlukan penegakan hukum yang menyeluruh, menyentuh pemodal asing, warga lokal yang meminjamkan nama, hingga oknum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memfasilitasi akta-akta di bawah tangan. Tanah yang terbukti dikuasai secara ilegal perlu disita sebagai bagian dari pemulihan kedaulatan negara.
Pemerintah pusat perlu membangun integrasi data antara BPN, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Direktorat Jenderal Pajak agar setiap transaksi properti yang melibatkan modal asing dapat dipantau secara real time. Pemerintah daerah pun perlu memperkuat perlindungan kawasan strategis serta lahan pertanian produktif dari alih fungsi yang tidak terkendali. Skema legal seperti Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan melalui PMA harus dipermudah tetapi diawasi ketat.
Pulau Bali tumbuh dari harmoni antara manusia, alam, dan nilai spiritual. Ketika tanah berubah menjadi komoditas spekulatif yang berpindah lewat bayang-bayang hukum, harmoni itu perlahan memudar. Bayang asing belum tentu gelap, tetapi ketika bayang itu menutupi pemilik sah dari tanahnya sendiri, negara wajib hadir.
Persoalan nominee arrangement bukan sekadar sengketa sertifikat, melainkan pertarungan jangka panjang tentang siapa yang berhak hidup di tanah Bali. Pertanyaan yang kini menggantung: apakah negara siap mengembalikan ruang Bali kepada mereka yang menjaga tanah ini sejak mula, sebelum semuanya tenggelam dalam bayang asing yang semakin memanjang?
Menot Sukadana