Bali: Pulau Dewata di Pusaran Keputusasaan
CITRA Bali sebagai "Pulau Dewata" yang harmonis dan religius, bak lukisan indah yang kontras dengan kenyataan pahit.
Data bunuh diri yang meroket, menempatkan Bali di urutan ketiga nasional, ironisnya melonjak sejak pandemi, seolah virus tak kasatmata itu merenggut bukan hanya kesehatan fisik, tapi juga kesejahteraan mental.
Ajaran Hindu, dengan penekanan pada karma dan reinkarnasi, memandang hidup sebagai anugerah langka.
"Ulah pati," atau bunuh diri, dianggap dosa besar, pengingkaran terhadap dharma, dan jalan menuju "asurya loka," alam kegelapan neraka selama 60.000 tahun.
Namun, di balik gemerlap pura dan ritual, tersembunyi jurang keputusasaan.
Teori Durkheim tentang tipe bunuh diri, seperti "anomie" (kehilangan tujuan hidup) dan "fatalistic" (tertekan norma berlebihan), mungkin menjelaskan fenomena ini.
Yoga, sebagai pengekangan pikiran, menjadi kunci. Sarasamuccaya sloka 3 mengingatkan, meski hidup hina dan penuh masalah, kelahiran manusia adalah anugerah. Mengendalikan "citta," benih-benih pikiran, menjadi benteng terakhir melawan jurang keputusasaan.
Tegal Penangsaran, tempat siksaan roh pendosa, menjadi metafora bagi penderitaan batin. Konsep ini bukan hanya hukuman, tapi juga peringatan: hidup adalah perjalanan karma, setiap tindakan berbuah konsekuensi.
Bali, di tengah gelombang modernisasi dan tekanan hidup, seolah kehilangan jangkar spiritualnya. Antara citra surgawi dan realitas kelam, Bali bergulat mencari keseimbangan, antara tradisi dan tantangan zaman. (*)