Search

Home / Kolom / Opini

Membedah Bunuh Diri Menurut Prespektif Hindu

Dewa Fatur   |    04 April 2025    |   19:59:00 WITA

Membedah Bunuh Diri Menurut Prespektif Hindu
Putu Eka Sura Adnyana. (Foto: Dok/Pribadi)

AKHIR-akhir ini banyak kasus bunuh diri terjadi di Bali, terbaru seorang Wanita dari kabupaten buleleng melakukan bunuh diri di Tukad Bangkung Badung.

Merujuk data Bali menempati posisi ketiga dengan kasus bunuh diri terbanyak di Indonesia dengan 638 kasus, mengikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kasus bunuh diri di Bali meningkat sejak adanya virus Covid-19 pada tahun 2020 hingga 2023.

Sebelum Covid-19, kasus bunuh diri di Bali sebanyak 33 kasus yang dilaporkan (Septiari, 2024). Septiari (2024) menghimpun data angka bunuh diri mulai meningkat sejak tahun 2020, yaitu sebanyak 93 kasus dilaporkan.

Angka ini meningkat lagi pada tahun selanjutnya menjadi 117 kasus pada tahun 2021 dan 144 kasus pada tahun 2022. Data terakhir dari Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan terdapat 113 kasus bunuh diri yang dilaporkan di Bali.

Melalui data tingginya angka bunuh diri di Bali, sangat kontradiktif dengan citra Bali sebagai pulau dewata, pulau seribu pura, dan pulau yang mayoritas Hindu, serta dikenal karena keharmonisan, ketaatan beragama, dan nilai budaya luhur.

Dalam ajaran Hindu, hidup sebagai manusia dianggap sebagai kesempatan yang sangat langka dan berharga.

Kelahiran manusia merupakan anugerah untuk menjalankan dharma (kewajiban moral) dan menapaki jalan menuju moksha (pembebasan dari siklus kelahiran kembali). Oleh karena itu, bunuh diri atau yang sering disebut "ulah pati" dipandang sebagai tindakan yang sangat tercela karena mengganggu proses karma dan reinkarnasi.

Durkheim merumuskan empat tipe bunuh diri (dalam Biroli, 2018: 217), yaitu: Egoistic suicide, yaitu suatu tindakan bunuh diri karena merasa kepentingan individu lebih tinggi daripada kepentingan kesatuan sosialnya.

Altruism suicide, yaitu dengan adanya perasaan integrasi antar sesama individu yang satu dengan yang lainnya, maka menciptakan masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat.

Anomie suicide, yaitu lebih terfokus pada keadaan moral dimana individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya.

Fatalistic suicide, yaitu terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa berlebihan.

Empat Golongan tipe bunuh diri menurut Durkeim tersebut jika dipahami dalam ajaran Hindu, digolongkan bahwa Tindakan yang muncul akibat ketidakmampuan mengendalikan pikiran, sehingga perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan penyakit.

Karena kemampuan setiap individu dalam mengelola pikiran berbeda-beda, mereka yang tidak mampu menerima, menghadapi, atau mencari solusi atas permasalahan yang ada cenderung mengalami frustrasi sehingga menyebabkan terjadinya prilaku bunuh Diri (Sumarkandia, 2024:2).

Hindu memandang sejatinya bunuh diri adalah prilaku yang tidak terpuji, sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengelola dan mengendalikan pemikiran dan perasaan.

Sarasamuccaya sloka 3 menjelaskan Matangnyan haywa juga wwang manastapa, an tan paribhawa, si dadi wwang ta pwa kagongakena ri ambek apayapan paramadurlabha iking si janma manu?a ngaranya, yadyapi candalayoni tuwi.

Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih hati; sekalipun hidupmu tidak makmur; dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun (Kajeng, dkk, 1994:8).

Sarasamucaya sloka 3 memberikan pemahaman kepada umat Hindu agar senantiasa dapat berbesar hati menjadi manusia walaupun hina sekali dan banyak permasalahan dalam hidup yang mengganggu pikiran manusia.

Dalam teks Hindu lainnya, Pengendalian pikiran dapat dilakukan dalam yoga. Yogas citta wrtti nirodhah. Yoga adalah pengekangan benih-benih pikiran (citta) dari pengambilan berbagai wujud yang dapat mengganggu dan merusak diri manusia.

Yogasutra Patanjali (I:12-17) pikiran sebagai penyebab utama orang menjadi sakit atau bahagia. Hanya mereka yang mampu mengendalikan atau mengatur pikirannya secara baik dan benar saja yang dapat hidup sentosa.

Dalam ajaran Hindu, pandangan terhadap bunuh diri merupakan refleksi dari nilai-nilai dasar seperti karma, dharma, dan reinkarnasi. Tan Hana Karma, Tan Maphala, yang berarti tidak ada perbuatan yang tidak berbuah.

Konsep ini, setiap tindakan yang dilakukan oleh individu akan menghasilkan konsekuensi karma yang memengaruhi perjalanan jiwa dalam siklus kelahiran kembali (samsara).

Dengan demikian, bunuh diri bukan sekadar tindakan mengakhiri hidup secara fisik, melainkan sebuah pelarian dari tanggung jawab moral dan spiritual yang harus dijalani sebagai bagian dari perjalanan hidup menuju pembebasan (moksha).

Namun disatu sisi, dalam teks susastra Hindu juga ditekankan hukuman yang berat bagi umat Hindu atau manusia yang memilih jalan bunuh diri.

Dalam pustaka Sloka Yajurveda 40.3 termuat Asurya nama te loka andhena tamasavrata?, Tamse pretyapi gacchati ye ke catmahano jana? yang berarti orang-orang yang memilih jalan bunuh diri dalam mengakhiri kehidupannya maka atman dalam dirinya akan menuju alam kegelapan atau yang disebut asurya loka.

Lebih mendalam Pustaka teks Parasara Dharmasastra Adhyaya IV Sloka 1-2, menjelaskan hal yang sama, sebagai berikut.

 Atimanad ati krodhat snehadva yadi va bhayat,Udvaghniyat stri puman va gatir esa vidhiyate

Terjemahannya:

?Kematian dimana seorang laki-laki ataupun Perempuan melakukan perbuatan bunuh diri, baik karena masalah harga diri diluar batas, rasa cinta tidak terkendali, maupun ketakutan, dan kemarahan yang melampui batas akan tersiksa (Maswinara, 1999:61)

Puyasonita Sampurne Andhe Tamasi Majjati,sastim var?a sahasrani narakam prati padyate.

Terjemahan:

Selama 60.000 tahun, roh orang yang bunuh diri dicampakkan dalam kegelapan neraka yang penuh dengan darah dan nanah yang berbau busuk (Maswinara, 1999:61).

Perbuatan bunuh diri dalam Hindu adalah salah satu dosa terbesar yang patut dihindari. Tegal Penangsaran dipandang sebagai lokasi yang penuh dengan penderitaan bagi jiwa-jiwa yang belum menemukan kedamaian. Dimana tempat tersebut diibaratkan sebagai gambaran dari penderitaan batin atau hukuman bagi jiwa yang melakukan dosa yang sangat berat.

Konsep tersebut mengandung makna bahwa setiap perbuatan buruk akan menimbulkan akibat yang setimpal pada tingkat roh, sehingga roh yang belum mencapai penyucian harus melalui masa penderitaan sebelum berkesempatan mencapai pembebasan atau reinkarnasi.

Dengan demikian, konsep ini berfungsi sebagai peringatan agar umat manusia menjalani hidup dengan penuh kesadaran moral dan berusaha menebus dosa melalui perbuatan baik dan menghindari mengambil keputusan untuk bunuh diri.

Oleh: Putu Eka Sura Adnyana Ketua Bidang Adat, Agama,Tradisi dan Budaya DPD KNPI Bali

Baca juga :
  • Kurikulum Cinta
  • Wisuda yang Belum Sarjana
  • Nelayan Yang Sekolah