EMPAT orang terjaring razia Satpol PP di lampu merah Tohpati. Mereka disebut "Gepeng," singkatan untuk gelandangan dan pengemis. Alasan penertiban jelas: Perda tentang ketertiban umum. Kepala Satpol PP bicara soal pembinaan dan larangan memberi uang. Tujuannya, agar Denpasar tertib dan aman.
Tapi, penertiban ini lebih dari sekadar menjaga aturan. Empat orang di lampu merah itu adalah bukti kegagalan pemerintah. Mereka bukan cuma pengganggu pemandangan kota. Mereka adalah cermin buram ketidakmampuan sistem untuk mengurus warganya. Mereka ada karena janji pembangunan tidak sampai ke semua orang.
Kenapa mereka mengemis di jalan? Pertanyaan ini lebih penting daripada sekadar menggiring mereka pergi. Mereka adalah "sampah" yang tidak kita akui. Sampah dari ketidakadilan dan jurang kaya-miskin. Kita buang mereka, lalu pura-pura lupa dari mana asalnya.
Ironisnya, kita malah dilarang memberi. Dulu mungkin ada rasa iba. Sekarang, aturan lebih penting dari rasa peduli. Kita membersihkan jalan dari pemandangan yang "mengganggu." Ketidakpedulian jadi kebijakan.
Pembinaan apa yang bisa mengubah hidup mereka? Nasihat tidak bisa menghilangkan kemiskinan. Sanksi pembinaan juga aneh, seolah miskin itu melanggar hukum.
Kota yang tertib dan aman itu baik. Tapi, ketertiban yang mengabaikan masalah dan keamanan yang hanya untuk sebagian orang itu rapuh. Masalah hanya ditunda, disembunyikan.
Seharusnya, pemerintah melihat ke dalam diri sendiri. Melihat kegagalannya di mata para "Gepeng." Masyarakat juga harus bertanya, apakah ketidakpedulian ini pantas untuk kota yang katanya nyaman?
Sebab, masalah yang diabaikan akan terus ada. Di Tohpati, empat orang dipinggirkan. Besok, mungkin lebih banyak lagi. Dan kita akan terus pura-pura mereka hanya mengganggu ketertiban. (*)
Baca juga :
• Pancasila dan Sumpah yang Terlupa
• Sampah yang Tak Pernah Usai
• Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan