Lebih dari Sekedar Mode
GEMERLAP "Swarna Nusantara" yang memukau pesisir pantai Kuta, Jumat malam, tersembunyi pesan yang lebih dalam dari sekadar tren dan keindahan visual. Acara ini adalah sebuah perayaan akar budaya dan identitas bangsa yang terjalin dalam setiap helai wastra.
Di hamparan pasir yang membelai Discovery Mall, Badung, Jumat malam itu, "Swarna Nusantara" lebih dari sekadar kilauan kain dan gemerlap payet.
Ia hadir bukan sebagai etalase kesombongan estetika semata, melainkan sebagai bisikan yang menggugah tentang akar dan arah. Di sana, di antara debur ombak dan sorot lampu, terjalin benang-benang ingatan akan kekayaan wastra, sebuah warisan yang seringkali kita lupakan dalam pusaran modernitas yang serba cepat.
Putri Suastini Koster, dengan nada yang tak hanya protokoler, menyuarakan kebanggaannya. Ia melihat acara ini bukan sekadar peragaan, melainkan sebuah gerak maju Dekranasda Bali. Sebuah upaya untuk merangkul kembali para perajin, meniupkan semangat baru pada tangan-tangan terampil yang selama ini mungkin terpinggirkan.
Lebih dari itu, Swarna Nusantara adalah teguran halus kepada kita semua: bahwa melestarikan budaya bukanlah nostalgia usang, melainkan napas yang menghidupi identitas sebuah bangsa.
Kata-kata tentang "memperkuat identitas bangsa" dan "membuka peluang ekonomi kreatif yang berkelanjutan" terasa lebih dari sekadar retorika.
Di balik gemerlap busana, tersembunyi harapan untuk membangun jembatan antara tradisi dan inovasi, antara keindahan masa lalu dan kebutuhan masa kini. R
encana pameran "Bali Bangkit" di Art Center adalah sebentuk kesadaran bahwa pelestarian harus dimulai dari rumah sendiri, dari kebanggaan warga lokal terhadap warisan leluhurnya.
Lenny Hartono, sang penyelenggara, melihat acara ini sebagai barometer. Sebuah penunjuk arah bagi kekayaan Nusantara untuk menembus batas-batas geografis dan kultural.
Ia berharap, di mata dunia, Indonesia tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena keunikan dan keindahan wastranya. Sebuah harapan yang sederhana namun mendalam: agar setiap anak bangsa merasa bangga mengenakan tenun dari tanah kelahirannya.
Namun, ada satu momen yang terasa lebih menggetarkan dari sekadar keindahan kain. Ketika anak-anak difabel melangkah di atas catwalk, di sana bukan hanya inklusi yang diperagakan, melainkan sebuah pernyataan tentang kemanusiaan yang melampaui batas-batas fisik.
Langkah-langkah kecil itu adalah simbol keberanian dan harapan, bahwa setiap individu memiliki hak untuk tampil, untuk diakui, untuk merayakan keunikan dirinya.
Swarna Nusantara, dengan segala kemegahannya, pada akhirnya adalah sebuah ajakan. Ajakan kepada generasi muda untuk tidak hanya melihat wastra sebagai selembar kain usang, tetapi sebagai cerita yang hidup, sebagai identitas yang membanggakan, dan sebagai potensi yang tak terbatas untuk dikembangkan.
Di antara warna-warni kain dan desain yang memukau, tersembunyi harapan untuk masa depan di mana warisan budaya tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dihidupkan kembali dengan sentuhan kreativitas yang relevan. Malam di South Beach itu bukan sekadar tentang mode, melainkan tentang benang emas yang merajut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nusantara. (*)