Bali: Dari Komunal ke Individual
PARADOKS pembangunan kini merayap di jantung Bali Dwipa. Di satu sisi, geliat metropolitanisasi kawasan Denpasar dan Badung menunjukkan kemajuan ekonomi yang pesat, ditandai oleh gedung-gedung menjulang dan perputaran modal yang cepat. Namun, di balik keramaian kota yang diselimuti gegas kendaraan dan bising pembangunan, muncul ironi baru: Denpasar dan Badung kini terasa sepi di tengah kerumunan. Denyut nadi sosial yang menjadi fondasi keharmonisan, pilar Pawongan, terancam rapuh. Solidaritas sosial kian tergerus, membuat nilai-nilai etika luhur kearifan lokal terdesak menjadi sekadar artefak budaya, bukan panduan hidup.
Secara historis, keunggulan Bali terletak pada sistem kolektifnya. Pilar Pawongan ditopang oleh struktur yang amat kuat, seperti sistem Subak yang mengelola air secara adil dan terstruktur. Begitu pula lembaga Banjar yang berfungsi sebagai pemerintahan terkecil, bank sosial, dan safety net bagi anggotanya.
Kohesi ini memastikan bahwa tidak ada individu yang jatuh terlalu dalam, sebab selalu ada uluran tangan Menyama Braya yang bersifat wajib. Keberadaan sistem ini merupakan bukti bahwa Balinisme adalah filosofi yang mengutamakan kolektivitas, sebuah "teknologi sosial" yang membuat Bali unik dan berkelanjutan selama berabad-abad. Hilangnya fungsi krusial ini, dan kini hanya menyisakan kerangka ritual, adalah cerminan dari kegagalan masyarakat modern Bali dalam mewariskan etos komunal tersebut.
Filsafat "Aku" Menggantikan "Kita"
Filosofi hidup masyarakat Bali secara inheren terkandung dalam Tri Hita Karana: hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), alam (Palemahan), dan sesama manusia (Pawongan). Saat ini, pilar Pawongan sedang menghadapi tantangan terberat.
Arus individualisme radikal yang diimpor dari Barat telah bertransformasi menjadi virus yang mengikis etika komunal. Sukses kini cenderung diukur sebatas ketebalan materi dan kepemilikan aset, mengabaikan dimensi kepedulian sosial. Fenomena ini, yang dapat diidentifikasi sebagai egoisme ekonomi, secara fundamental bertolak belakang dengan semangat Menyama Braya (bersaudara).
Relasi sosial yang semula didasari persaudaraan kini direduksi menjadi interaksi transaksional atau, lebih buruk, sikap saling abai. Di persimpangan jalan atau area publik, sapaan hangat yang dulu refleks kini tergantikan oleh tatapan kosong atau fokus pada gawai, seolah berusaha keras menghindari beban interaksi tatap muka. Individu semakin tertutup, menempatkan pagar tak terlihat di sekeliling kepentingan pribadinya. Intinya, terjadi pergeseran filosofi hidup dari "kita" menuju "aku," sebuah orientasi yang memunculkan kecenderungan kompetitif berlebihan, bahkan terhadap sesama anggota komunitas.
Egoisme ekonomi ini memiliki motor penggerak bernama kebutuhan akan gengsi. Standar kemakmuran disamakan dengan gaya hidup metropolis, yang seringkali dipamerkan melalui media sosial. Pengejaran citra kemewahan ini mendorong individu pada hutang konsumtif dan praktik ekonomi yang eksploitatif.
Keputusan menjual tanah warisan (Palemahan) atau mengambil risiko investasi tinggi seringkali bukan didasari kebutuhan primer, melainkan tekanan sosial senyap (silent social pressure) untuk menunjukkan kesuksesan yang setara dengan rekan sebayanya. Dalam konteks ini, Pawongan tidak hanya pasif; ia menjadi agen yang secara tidak langsung memaksa anggotanya untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional demi memenuhi tuntutan kapitalistik.
Lebih jauh, semangat "aku" ini telah mengikis trust atau rasa percaya. Di tengah arus persaingan dan transaksi, masyarakat menjadi curiga terhadap inisiatif tetangga, menganggap setiap perbuatan baik pasti dilatarbelakangi motif pribadi atau ekonomi. Hilangnya kepercayaan ini menghancurkan fondasi kolaborasi, membuat upaya kolektif, bahkan untuk hal sederhana seperti mengurus kebersihan lingkungan, menjadi sangat sulit diwujudkan.
Beban Modernitas Cair Zygmunt Bauman
Perubahan drastis ini dapat dipahami melalui kerangka pikir sosiolog Zygmunt Bauman mengenai Modernitas Cair (Liquid Modernity). Bauman berargumen bahwa di era ini, segala sesuatu menjadi cair dan tidak permanen: pekerjaan, tempat tinggal, bahkan ikatan relasi. Stabilitas sosial yang dulu kokoh digantikan oleh fleksibilitas yang menuntut adaptasi terus-menerus.
Di Bali, dampak modernitas cair terlihat jelas pada memudarnya fungsi sosial lembaga adat seperti Banjar. Di luar musim upacara besar, balai Banjar kerap sunyi, hanya berfungsi sebagai gudang perlengkapan ritual, bukan pusat interaksi sosial harian. Ikatan Banjar yang dulunya bersifat permanen (solid) kini hanya terasa relevansinya dalam konteks ritualistik.
Di luar itu, individu-individu metropolis dipaksa menjadi "pahlawan super" bagi dirinya sendiri, di mana kegagalan atau kebutuhan akan bantuan dianggap sebagai aib. Kondisi ini menciptakan individu yang rapuh (fragile), rentan terhadap tekanan mental, dan memilih isolasi karena ketiadaan sistem dukungan sosial yang kuat. Stres sosial meningkat seiring tuntutan untuk selalu siap "berganti kulit" (beradaptasi) tanpa jaring pengaman komunitas.
Modernitas cair juga merusak struktur kekerabatan. Mobilitas vertikal dan geografis yang tinggi, seperti anggota keluarga merantau, menikah dengan latar belakang berbeda, atau memilih tinggal jauh dari desa asal, melemahkan sistem Banjar dari dalam. Banjar sebagai benteng fisik dan sosial tak lagi mampu menaungi semua anggotanya, menyisakan jurang generasi yang kian lebar. Para tetua Banjar tetap berpegang pada aturan solid yang ketat, sementara generasi muda menjalani kehidupan liquid yang menuntut fleksibilitas ekstrem.
Peran media digital sebagai substitusi interaksi juga mempercepat pencairan sosial. Komunikasi kini seringkali bersifat performative Pawongan, di mana kepedulian ditunjukkan sebatas unggahan di media sosial, bukan kehadiran fisik dan empati nyata. Liquid bonding ini, meskipun memberi ilusi koneksi, gagal memberikan dukungan substansial saat terjadi krisis, meninggalkan individu merasa terisolasi meskipun terhubung dengan ribuan orang secara daring.
Anomi dan Transaksi Nilai
Erosi nilai Pawongan menjelma dalam perubahan fundamental cara berinteraksi. Gotong royong dan ngayah (kerja tulus ikhlas) beralih dari kewajiban menjadi pilihan, atau lebih parah, terdegradasi menjadi aktivitas transaksional. Mengapa bersusah payah membersihkan lingkungan jika ada opsi membayar jasa kebersihan?
Emile Durkheim pernah membedakan antara solidaritas mekanik (berdasarkan kesamaan) dan solidaritas organik (berdasarkan saling ketergantungan profesi). Kegagalan menumbuhkan solidaritas organik di perkotaan, yang didahului oleh penyebaran individualisme, berujung pada kondisi anomi, yakni kekosongan norma. Kehilangan kepedulian terhadap sesama memunculkan hilangnya kepercayaan (trust), fondasi utama kohesi sosial.
Gagalnya solidaritas organik ini sangat ironis di kota. Meskipun masyarakat urban Bali semakin terspesialisasi (ada pekerja pariwisata, programmer, petani, pengusaha), yang seharusnya melahirkan ketergantungan timbal balik, virus egoisme justru melahirkan friksi. Individu memilih untuk membayar jasa dari pihak luar daripada berkolaborasi dengan tetangga, sebab proses kolaborasi dianggap terlalu rumit dan penuh potensi konflik kepentingan pribadi.
Dampak anomi ini merembet ke pilar Palemahan. Tanah dan alam yang secara spiritual dianggap sakral, kini hanya dipandang sebagai komoditas, aset ekonomi yang boleh dijual dan dikorbankan demi kepentingan pembangunan sesaat.
Pada titik inilah kekosongan Pawongan menjadi fatal bagi Bali. Keengganan komunitas untuk menegur, ketidakpedulian terhadap sawah tetangga yang dijual, atau sikap pasif saat lahan subak dikonversi, adalah refleksi langsung dari kegagalan solidaritas. Kerusakan lingkungan terjadi bukan hanya karena keserakahan, melainkan karena Pawongan sudah terlalu lemah untuk menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Jika kepedulian terhadap tetangga sendiri hilang, kepedulian terhadap lingkungan dan nilai-nilai etis yang melingkupinya turut lenyap.
Selain itu, muncul fenomena Komodifikasi Ritual. Ritual dan upacara, yang seharusnya menjadi momen puncak penguatan Pawongan dan Parahyangan, kini semakin sering di-outsourcing. Jasa banten, dekorasi, hingga pemotretan dikerjakan oleh vendor. Anggota Banjar hanya dimintai sumbangan dana, bukan lagi ngayah secara fisik. Hal ini mengosongkan makna ritual dari esensi kebersamaan dan kerja tulus, mengubahnya menjadi transaksi keuangan, yang semakin mempercepat de-fungsi sosial Banjar sebagai ruang kolektif.
Menguatkan Kembali Filosofi "Kita"
Menambal keretakan pilar Pawongan tidak bisa dilakukan dengan mengeliminasi modernitas, melainkan dengan re-etisisasi modernitas. Kearifan lokal Tri Hita Karana perlu diaktifkan kembali bukan sekadar sebagai simbol, melainkan sebagai pedoman etis yang praktis dan berfungsi sebagai filter terhadap modernitas.
Langkah konkret yang harus dilakukan adalah penguatan spiritualitas individu (Parahyangan) untuk menumbuhkan kerendahan hati dan empati. Selain itu, revitalisasi Banjar sangat krusial. Banjar harus bertransformasi menjadi ruang interaksi sosial yang aktif, tempat empati diajarkan sebagai keterampilan sosial dan Menyama Braya dipraktikkan sebagai etika harian.
Secara kelembagaan, Banjar harus direkayasa ulang agar relevan dengan kebutuhan ekonomi dan sosial modern. Misalnya, Banjar dapat diwajibkan menyelenggarakan pelatihan soft skill, menjadi pusat inkubasi wirausaha sosial (social-entrepreneurship) berbasis anggota, atau menjadi simpul kesiapsiagaan bencana yang modern. Dengan menyuntikkan fungsi ekonomi dan keterampilan kontemporer, Banjar akan mendapatkan kembali daya tarik dan otoritas moralnya, memaksa individu liquid untuk kembali berpartisipasi dalam struktur solid.
Masyarakat urban Bali harus menyadari bahwa kemakmuran sejati tidak dapat dicapai secara parsial. Kebertahanan sebuah peradaban diukur dari kualitas ikatan sosialnya. Perlu ada pergeseran kesadaran kolektif dari filosofi "aku" yang berpotensi memiskinkan batin dan menghancurkan lingkungan, menuju filosofi "kita" yang memberikan martabat sosial dan menjamin keberlanjutan. Hanya dengan menguatkan kembali pilar Pawongan sebagai teknologi etis abad ke-21, Bali dapat mempertahankan jati dirinya sebagai pulau yang berharmoni di tengah pusaran modernitas.(*)
Menot Sukadana