Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Menyibak Kartini, Merayakan Srikandi Pesisir

Oleh Editor • 21 April 2025 • 17:45:00 WITA

Menyibak Kartini, Merayakan Srikandi Pesisir
ILUSTRASI: Bersama dalam semangat, Kartini dan para srikandi pesisir menginspirasi kekuatan perempuan Indonesia. (podiumnews)

HARI Kartini kembali hadir, bukan sekadar pengingat akan seorang tokoh emansipasi, melainkan juga momentum untuk menelisik lebih dalam jejak perjuangan perempuan Indonesia.

Kali ini, lensa kita tertuju pada Kartini melalui interpretasi seorang maestro sastra, Pramoedya Ananta Toer, dalam "Panggil Aku Kartini Saja."

Pramoedya, dengan kepekaan seorang seniman, mampu menghadirkan Kartini sebagai sosok yang jauh dari sekadar ikon: seorang perempuan Jawa yang kompleks, seorang intelektual yang haus ilmu, dan seorang pemberontak lembut yang bergelut dengan kungkungan zaman.

Melalui narasi Pramoedya, kita diajak menyelami kontradiksi dalam diri Kartini. Kecintaannya pada tradisi Jawa berbenturan dengan kerinduannya akan kemajuan Barat.

Status bangsawannya tak menghalanginya merasakan empati pada rakyat jelata. Impiannya akan pendidikan tinggi bagi perempuan terbentur tembok pingitan.

Namun, justru dalam keterbatasan itulah, Kartini menemukan kekuatan kata. Surat-suratnya menjadi senjata ampuh, merobohkan tembok ketidakadilan dengan kecerdasan dan ketajaman pemikirannya.

Pramoedya menangkap dahaga ilmu Kartini yang luar biasa, bagaimana keterbatasan akses justru memicu semangat belajarnya melalui korespondensi dan buku-buku yang membuka cakrawala pemikirannya.

Lebih dari itu, Pramoedya tak menutup mata pada kesepian dan keterasingan yang mungkin dialami Kartini di tengah lingkungannya yang belum sepenuhnya memahami ide-idenya yang progresif.

"Kartini, dalam sentuhan sastra Pramoedya, adalah pemberontak hati, intelektual yang kesepian namun teguh, merangkai harapan bagi kaumnya, jejak pemikirannya abadi." Kutipan ini merangkum esensi pandangan Pramoedya: Kartini bukan hanya simbol, melainkan jiwa yang bergelora, yang meski terkurung, mampu menyuarakan harapan dan menginspirasi perubahan.

Namun, perayaan Hari Kartini kali ini juga mengajak kita melihat spektrum perjuangan perempuan Indonesia yang lebih luas. Sebuah benang merah terentang dari pesisir barat Aceh hingga timur Maluku, melahirkan srikandi-srikandi perkasa yang keberaniannya seolah menyatu dengan debur ombak.

Laksamana Malahayati di Aceh, Ratu Kalinyamat dan Kartini di Jawa, Martha Christina Tiahahu di Maluku, hingga Ida Dewa Agung Istri Kanya di Bali, adalah bukti nyata bagaimana kawasan pesisir dengan keterbukaan, tantangan alam, dan kesadaran akan kedaulatan, menempa jiwa-jiwa pemberani.

"Lahir dari kerasnya ombak dan lembutnya pasir, keberanian perempuan pesisir membentang, mengukir sejarah gemilang bagi Nusantara." Kutipan ini menjadi penanda bahwa semangat juang perempuan Indonesia tidak terbatas pada satu sosok atau satu wilayah.

Dari ujung barat hingga timur, dari lautan yang luas hingga daratan yang subur, perempuan Indonesia telah menunjukkan ketangguhan dan keberaniannya dalam menghadapi berbagai tantangan.

Hari Kartini, di tahun ini, menjadi momentum ganda. Kita mengenang Kartini melalui lensa sastra Pramoedya, memahami kompleksitas jiwa dan perjuangannya. Sekaligus, kita merayakan semangat juang para srikandi pesisir Nusantara, yang keberaniannya mengalir sekuat ombak, menginspirasi kita semua untuk terus berjuang demi kesetaraan, keadilan, dan kemajuan bangsa. Warisan mereka adalah gelombang keberanian yang tak pernah surut, abadi dalam sejarah Indonesia. (*)