Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Kartini: Di Balik Tirai Surat

Oleh Editor • 21 April 2025 • 17:53:00 WITA

Kartini: Di Balik Tirai Surat
Ilustrasi: Kartini menatap, perjuangan berlanjut dalam langkah perempuan kini. (podiumnews)

HARI Kartini, sebuah ritual tahunan yang mengulang nama seorang perempuan Jawa. Namun, di balik puja-puji dan idealisasi, tersembunyi sosok yang lebih rapuh, lebih manusiawi, yang pergulatannya mungkin tak sepenuhnya kita pahami di zaman yang serba terbuka ini.

Kartini, yang surat-suratnya menjadi jendela zamannya, bukanlah semata-mata ikon emansipasi yang gagah perkasa. Ia adalah suara yang merintih dari balik tirai pingitan, sebuah kerinduan akan dunia yang lebih luas, sebuah pemberontakan yang terbungkam oleh sopan santun feodal.

Surat-surat Kartini adalah paradoks. Di satu sisi, mereka memancarkan semangat pembaharuan, keinginan untuk mendobrak tradisi yang mengekang. Ia mempertanyakan adat yang merendahkan perempuan, merindukan pendidikan yang setara, dan memimpikan kebebasan untuk menentukan jalan hidup.

Namun, di sisi lain, kita juga menangkap nada kepasrahan, kesadaran akan keterbatasan dirinya sebagai perempuan Jawa di tengah kungkungan struktur sosial yang begitu kuat.

Pramoedya Ananta Toer, dengan kepekaan seorang sastrawan yang selalu mencari kebenaran di balik permukaan, mungkin telah menangkap paradoks ini dalam interpretasinya tentang Kartini.

Bukan sekadar pahlawan tanpa cela, Kartini dalam pandangan Pramoedya bisa jadi adalah sosok yang berjuang dengan kesepian intelektual, yang ide-idenya mungkin tak sepenuhnya berakar di zamannya sendiri.

Ia adalah suara yang merindukan resonansi, namun seringkali hanya bergema di antara lembaran-lembaran surat kepada sahabat-sahabat jauh di negeri asing.

Hari ini, ketika kita merayakan Kartini, mungkin penting untuk tidak hanya mengagumi simbolnya, tetapi juga merenungkan kompleksitas perjuangannya.

Emansipasi yang ia dambakan adalah sebuah proses yang panjang dan belum sepenuhnya usai. Tirai-tirai pembatas mungkin telah berubah bentuk, namun tantangan bagi perempuan untuk meraih kesetaraan sejati masih menghadang di berbagai lini kehidupan.

Maka, mengenang Kartini bukan berarti sekadar mengulang pujian. Lebih dari itu, adalah sebuah ajakan untuk melanjutkan perjuangan yang ia rintis, untuk terus mempertanyakan batasan-batasan yang ada, dan untuk memberikan ruang bagi suara-suara perempuan yang mungkin masih terbungkam di balik tirai-tirai modern.

Kartini adalah lebih dari sekadar nama di buku sejarah; ia adalah pertanyaan yang terus bergema tentang arti kebebasan dan kesetaraan bagi setiap jiwa. (*)

(Menot Sukadana)