Belajar Menepi
DUA PULUH tahun lalu, hidup saya selalu terasa terburu-buru. Seolah waktu tidak pernah cukup.
Sebagai jurnalis yang tumbuh di masa reformasi, saya terbiasa hidup dalam kecepatan. Mengejar narasumber, mengejar tenggat, mengejar peristiwa. Dari lorong kampus hingga ruang redaksi, dari rapat birokrasi hingga jalanan aksi, saya belajar satu hal sejak muda: kalau ingin dianggap ada, kita harus berada di tengah keramaian.
Saat itu saya percaya, kerja harus terlihat. Suara harus terdengar. Langkah harus cepat.
Saya menjalani semua itu dengan penuh keyakinan, sampai suatu hari tubuh dan pikiran mulai meminta haknya untuk diam.
Menjelang usia lima puluh tahun, saya mulai akrab dengan rasa lelah yang berbeda. Bukan lelah karena kerja, tetapi lelah karena terus bergerak tanpa sempat bertanya: untuk apa semua ini dikejar. Dari kelelahan itulah kata pulang perlahan menemukan maknanya.
Bukan pulang ke rumah.
Pulang ke kesadaran.
Saya mulai belajar menepi.
Menepi bukan keputusan besar yang dramatis. Ia datang pelan-pelan. Dalam bentuk keinginan untuk tidak selalu berada di depan. Dalam pilihan untuk tidak lagi bereaksi terhadap setiap riuh. Dari menepi, saya justru mulai melihat hal-hal yang dulu terlewat karena terlalu sibuk berlari.
Saya sadar, hidup mirip tulisan. Jika semua baris diisi tanpa jeda, yang lahir bukan makna, melainkan sesak. Spasi kecil sering kali justru membuat kalimat bisa dibaca dengan tenang.
Begitu juga peran.
Pengalaman panjang di dunia jurnalisme mengajarkan saya bahwa pengaruh tidak selalu datang dari suara paling keras. Ada kerja-kerja penting yang justru berlangsung tanpa sorotan. Kerja menjaga, bukan meneriakkan. Kerja menata, bukan mempertontonkan.
Dari sanalah saya mulai memahami bentuk kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang tidak sibuk tampil. Tidak merasa perlu disebut. Ia hadir sebagai pengatur, bukan pusat perhatian.
Dalam membangun Podium Ecosystem, saya mencoba menjalani peran itu. Saya tidak lagi menempatkan diri sebagai tokoh utama. Yang saya rawat adalah fondasi. Saya belajar bahwa sesuatu bisa bertahan lama bukan karena figur di depannya kuat, tetapi karena sistem di dalamnya sehat.
Di PodiumNews, saya menahan diri agar tidak tergoda mengejar angka semata. Di UrbanBali, saya berusaha menjaga agar modernitas tidak menggilas akar. Melalui Podium Kreatif, pengalaman panjang saya letakkan sebagai alat bantu, bukan panggung. Dan di Kedai Kopi Redaksi, saya ingin ada ruang sederhana tempat orang bisa duduk tanpa agenda, berbicara tanpa tergesa.
Menepi memberi saya jarak. Dan jarak memberi kejernihan.
Dari situ saya bisa melihat orang-orang muda yang bekerja bersama saya tumbuh dengan caranya sendiri. Tugas saya bukan lagi mengatur detail pekerjaan mereka, tetapi memastikan ruangnya cukup aman dan jujur untuk bertumbuh.
Saya tidak lagi merasa perlu menjelaskan siapa saya kepada dunia digital yang gaduh. Ada fase dalam hidup ketika pengakuan berhenti menjadi kebutuhan. Yang tersisa hanya keinginan untuk menjaga apa yang sudah dirawat agar tidak rusak oleh tergesa.
Buku Jeda lahir dari fase ini. Ia bukan kisah pencapaian. Ia juga bukan nostalgia masa lalu. Ia hanyalah catatan batin seseorang yang memilih menepi agar bisa memahami kembali makna pekerjaannya sendiri sebagai jurnalis.
Kini saya menulis dengan perasaan yang berbeda. Lebih pelan. Lebih jujur. Saya tidak lagi menulis untuk tampil, tetapi untuk menemani. Kalau tulisan ini bisa menjadi tempat singgah bagi satu atau dua orang yang sedang lelah, itu sudah lebih dari cukup.
Saya sudah selesai dengan urusan mengejar. Sekarang, saya belajar menjaga.
Menjaga agar apa yang ditanam bisa tumbuh pelan-pelan. Menjaga agar yang bekerja di dalamnya tidak kehilangan martabat.
Sebab pada akhirnya, menulis bagi saya bukan tentang hadir di depan, melainkan tentang membantu orang lain merasa tidak sendirian dalam perjalanan pulang mereka masing-masing. (*)
Menot Sukadana