Mengumpulkan Buku
SARAN itu datang di sela obrolan panjang yang tidak pernah direncanakan. Seorang teman wartawan senior, GH, yang belakangan sering menjadi kawan diskusi hingga larut malam, menyebut satu hal yang terasa sederhana namun mengusik. Ia menyarankan agar saya kembali membaca buku di waktu senggang. Bukan untuk mengejar gelar, bukan untuk pamer kutipan, hanya untuk menjaga kewarasan berpikir.
Kalimat itu seperti mengetuk pintu lama yang sudah lama tak dibuka. Pintu ingatan tentang ratusan buku yang pernah saya kumpulkan sejak masih mahasiswa. Buku-buku yang dibeli dari menyisihkan uang saku, dari honor tulisan kecil, dari keinginan memahami dunia lebih pelan. Buku-buku itu masih ada. Tersimpan di sebuah rumah tua di Denpasar, di atas lahan sekitar empat ratus meter persegi, rumah yang sudah bertahun-tahun tidak lagi dihuni.
Di lahan itu berdiri dua bangunan yang sama-sama menua. Salah satunya memiliki empat kamar kosong yang tidak pernah lagi disentuh waktu. Di sanalah semua buku itu saya simpan ketika pindah ke Dalung. Tidak ada rak yang layak. Tidak ada pengaturan. Hanya tumpukan ingatan yang dibiarkan menunggu.
Ketika saya kembali menengoknya, rumah itu tampak sama rapuhnya dengan buku-buku di dalamnya. Ada bocor di beberapa sudut atap. Debu menebal di lantai, di dinding, di punggung buku yang menguning. Beberapa halaman sudah melekat satu sama lain. Ada judul yang tak lagi bisa dibaca. Saya berdiri lama di sana, merasa seperti sedang berhadapan dengan diri sendiri yang lupa merawat sesuatu yang pernah dicintai.
Barangkali paman dan bibi saya di kampung tidak sepenuhnya keliru. Saya memang tidak pandai merawat. Tidak pandai menjaga rumah peninggalan orang tua, baik di kampung maupun di kota. Tidak pandai mengurus sawah yang dibiarkan puluhan tahun hanya ditumbuhi ilalang. Mungkin itulah sebabnya kakak saya sangat menentang ketika saya berniat membeli rumah di Tabanan. Baginya, apa yang sudah ada saja tak terurus, mengapa menambah beban baru.
Melihat buku-buku itu, rasa menyesal datang tanpa bisa ditahan. Ada kesadaran pahit bahwa usia bukan hanya menguningkan kertas, tetapi juga melunturkan niat jika dibiarkan. Buku-buku itu seolah menunggu untuk disentuh kembali, bukan sebagai benda mati, melainkan sebagai saksi perjalanan hidup yang sempat terhenti.
Sejak setahun terakhir, saya perlahan kembali membeli buku. Tidak banyak. Satu atau dua judul dalam sebulan. Dibaca pelan-pelan di sela waktu menulis. Bukan untuk mengejar jumlah, tetapi untuk membangun kembali kebiasaan yang pernah memberi arah. Mengumpulkan buku kali ini terasa berbeda. Lebih sunyi, lebih sadar, dan mungkin lebih jujur.
Rencana ini tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari rencana jangka panjang yang pelan-pelan saya susun. Saya ingin membangun sebuah kedai kopi Redaksi di lahan kampung, Mengwi, yang disertai perpustakaan mini. Bukan perpustakaan besar, bukan ruang akademik, melainkan ruang singgah. Tempat buku-buku bisa disentuh, dibaca, dan dipinjam tanpa banyak syarat.
Gagasan tentang perpustakaan ini justru banyak datang dari teman-teman. Angga Wijaya salah satunya. Ia tak hanya memberi semangat, tetapi juga saran praktis tentang bagaimana mengumpulkan buku. Bahkan, ia menyebut ada seorang rekannya yang ingin menyumbangkan ratusan judul dari koleksi pribadinya. Mendengar itu, saya terdiam lama. Ada keharuan yang sulit dijelaskan ketika tahu bahwa buku-buku bisa menemukan rumah barunya.
Selain mengumpulkan buku, saya juga meminta Angga membantu mempersiapkan penerbitan beberapa naskah yang sudah saya siapkan selama setahun ini. Ada tiga buku yang bahannya sudah ada. Harapannya, pada tahun 2026, setidaknya tiga atau empat buku bisa terbit. Bukan untuk mengejar angka, tetapi sebagai penanda bahwa proses menulis tidak berhenti di kepala.
Penerbitan buku-buku itu pun saya niatkan sebagai bagian dari jalan pulang. Keuntungan yang ada akan dikumpulkan untuk membangun kedai kopi Redaksi sebagai bagian dari Podium Ecosystem. Sebuah proyek yang tidak saya kejar cepat-cepat. Lima hingga tujuh tahun ke depan terasa cukup masuk akal. Saat usia memasuki lima puluh lima tahun, saya ingin benar-benar kembali ke kampung, berkebun, dan berbagi literasi dengan generasi muda dari lahan sawah yang selama ini terabaikan.
Mengumpulkan buku pada akhirnya bukan sekadar soal menata rak. Ia adalah upaya menata ulang hidup. Merawat kembali hal-hal yang pernah memberi makna. Buku-buku itu mungkin sudah menguning, tetapi gagasan di dalamnya tetap hidup. Dan barangkali, seperti rumah tua dan sawah yang lama ditinggalkan, semua masih bisa dipulihkan jika ada niat untuk kembali merawat.
Di titik ini, saya belajar satu hal sederhana. Tidak semua yang tertunda harus disesali. Sebagian cukup dipungut kembali, dibersihkan pelan-pelan, lalu diberi ruang untuk bernapas. Seperti buku-buku itu. Seperti hidup itu sendiri. (*)
Menot Sukadana