Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Di Balik Profesi, Ada Kecemasan

Oleh Nyoman Sukadana • 19 Desember 2025 • 01:03:00 WITA

Di Balik Profesi, Ada Kecemasan
Menot Sukadana (dok/pribadi)

TIDAK semua kecemasan datang dalam bentuk keluhan. Sebagian hadir diam-diam, menempel di sela-sela rutinitas. Ia muncul saat pekerjaan selesai, ketika layar ponsel mulai sepi, atau saat usia bertambah tanpa pernah benar-benar disadari. Kecemasan itu tidak selalu tentang hari ini, tetapi tentang hari esok yang belum tentu ramah.

Dalam banyak profesi, kecemasan sering disembunyikan rapi. Terutama dalam profesi yang dibungkus idealisme dan pengabdian. Jurnalisme adalah salah satunya. Kita terbiasa bicara tentang peristiwa, kekuasaan, dan kepentingan publik. Kita dilatih untuk kritis, sigap, dan tahan tekanan. Namun jarang sekali ada ruang untuk bertanya, bagaimana kabar hidup di balik profesi ini.

Di Bali, khususnya dalam jurnalisme lokal, profesi ini hidup di persimpangan yang tidak mudah. Ia bermartabat, tapi rapuh. Ia penting bagi demokrasi, tapi sering tak memberi jaminan bagi pelakunya. Banyak jurnalis menjalani hari dengan disiplin dan kesetiaan, namun menyimpan kecemasan yang tidak pernah benar-benar dibicarakan. Kecemasan tentang penghasilan yang pas-pasan. Tentang tabungan yang tak kunjung terisi. Tentang masa depan yang menggantung pada kesehatan dan usia.

Sebagian besar jurnalis lokal hidup dari bulan ke bulan. Gaji cukup untuk bertahan, tetapi tidak cukup untuk menyiapkan hari tua. Rumah masih menjadi mimpi yang dijauhkan oleh harga tanah. Aset nyaris tak ada. Kendaraan pun sering dibeli dengan cicilan panjang. Mereka bukan tidak bekerja keras. Mereka hanya berada dalam sistem yang tidak dirancang untuk memberi rasa aman jangka panjang.

Di usia muda, kecemasan itu sering ditutupi oleh semangat. Liputan yang padat, jaringan yang luas, dan rasa bangga menjadi bagian dari profesi. Namun ketika usia memasuki pertengahan empat puluhan, kecemasan itu berubah bentuk. Tubuh mulai memberi tanda. Ritme tak lagi sama. Pertanyaan tentang hidup datang lebih sering dan lebih jujur. Sampai kapan profesi ini bisa menopang hidup. Apa yang tersisa ketika tenaga berkurang dan peluang menyempit.

Tidak sedikit jurnalis yang bertahan dalam kondisi ini dengan cara berdiam diri. Mereka tidak mengeluh, tidak pula meminta. Mereka menjalani hidup dengan sikap menerima, meski di dalamnya ada kegelisahan yang terus dipendam. Sebagian lain memilih jalan yang lebih sunyi. Membangun usaha kecil. Mengelola media dengan disiplin. Mengurangi gaya hidup. Menata hidup pelan-pelan tanpa banyak bicara.

Pilihan-pilihan itu jarang terlihat dari luar. Tidak dramatis. Tidak heroik. Namun di situlah kecemasan mulai menemukan lawannya. Bukan dalam bentuk kekayaan berlebihan, tetapi dalam rasa cukup. Dalam ketenangan saat mengambil keputusan. Dalam keberanian berkata tidak pada hal-hal yang menggerus martabat.

Kecemasan sesungguhnya bukan musuh. Ia adalah penanda bahwa ada sesuatu yang perlu ditata. Dalam profesi jurnalis, kecemasan bisa menjadi pintu kesadaran. Kesadaran bahwa hidup tidak cukup ditopang oleh idealisme semata. Bahwa martabat profesi perlu diiringi oleh kedaulatan hidup. Bahwa mengabdi tidak berarti mengorbankan masa depan sendiri.

Hidup berdaulat bagi jurnalis bukan berarti meninggalkan profesi. Ia justru tentang menempatkan profesi pada posisi yang sehat. Menulis dengan kepala dingin karena tidak dikejar kebutuhan mendesak. Menjaga jarak dengan kekuasaan karena tidak bergantung sepenuhnya pada belas kasih relasi. Bekerja karena memilih, bukan karena takut.

Di balik profesi yang kita jalani, memang ada kecemasan. Namun kecemasan itu tidak harus menjadi beban yang membungkam. Ia bisa menjadi ajakan untuk menata ulang hidup. Untuk bertanya dengan jujur tentang arah, batas, dan tujuan. Untuk menerima bahwa hidup bukan hanya tentang peran publik, tetapi juga tentang keberlangsungan diri.

Pada akhirnya, profesi apa pun akan menua bersama pelakunya. Yang membedakan adalah apakah kita menua dengan kecemasan yang tak pernah selesai, atau dengan ketenangan yang dibangun perlahan. Di titik itulah hidup berdaulat menemukan maknanya. Tidak selalu mudah, tidak selalu ramai, tetapi memberi ruang untuk tetap utuh. (*)

Menot Sukadana