Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Sekolah Berkelas, Pendidikan Terbelah?

Oleh Editor • 24 April 2025 • 23:04:00 WITA

Sekolah Berkelas, Pendidikan Terbelah?
ILUSTRASI: kesenjangan pendidikan di Indonesia. (podiumnews)

RENCANA pemerintah untuk mendirikan dua jenis sekolah dengan segmentasi yang berbeda—Sekolah Garuda Internasional dan Sekolah Rakyat—layaknya palu godam yang menghantam pilar keadilan pendidikan. Alih-alih menjadi solusi pemerataan, kebijakan ini justru berpotensi menganga lebar jurang ketidaksetaraan yang selama ini coba dirapatkan.

Kritik tajam dari akademisi Universitas Airlangga, Agie Nugroho Soegiono, bagai alarm yang sulit diabaikan. Dengan gamblang, ia menyatakan bahwa program ini secara implisit mengakui betapa dalamnya disparitas pendidikan di negeri ini. Sebuah pengakuan yang pahit, yang alih-alih memantik solusi integratif, justru melahirkan segregasi institusional.

Sekolah Garuda yang diperuntukkan bagi siswa dengan keunggulan akademis, dan Sekolah Rakyat bagi mereka yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan layak, adalah dikotomi yang mengkhawatirkan. Apakah ini berarti pemerintah menyerah pada cita-cita luhur untuk memberikan pendidikan berkualitas yang sama bagi setiap anak bangsa?

Kekhawatiran Agie sangat beralasan: pemisahan ini berpotensi memperdalam perbedaan kualitas pendidikan yang diterima masyarakat. Alih-alih fokus menyamakan mutu, pemerintah justru menciptakan dua kelas yang berbeda sejak bangku sekolah.

Ironisnya, gagasan ini muncul di tengah permasalahan klasik pendidikan Indonesia yang tak kunjung usai: inkonsistensi kebijakan akibat bongkar pasang menteri. Kurikulum dan program yang sedang berjalan kerap kali dirombak total, menghambat kemajuan dan menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan.

Di tengah ketidakpastian ini, alih-alih membenahi fondasi yang rapuh, pemerintah justru berencana membangun bangunan baru yang berpotensi memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan.

Pertanyaan mendasar pun muncul: seberapa urgenkah pembangunan sekolah baru yang menelan anggaran besar, sementara infrastruktur pendidikan yang sudah ada masih banyak yang memprihatinkan? Lebih bijak kiranya jika anggaran tersebut dialihkan untuk membenahi sekolah-sekolah yang gedungnya tak layak, meningkatkan kompetensi guru, dan menyediakan fasilitas yang memadai di seluruh pelosok negeri.

Agie dengan tepat mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menjadi alat untuk melanggengkan perbedaan kelas sosial. Kecenderungan beberapa tahun terakhir yang melihat pendidikan sebagai instrumen kapitalisasi sungguh disayangkan. Di era kecerdasan buatan yang semakin dominan, peran guru dalam menanamkan nilai dan pemikiran kritis justru semakin krusial.

Untuk masyarakat kurang mampu, gagasan Agie agar anggaran pembangunan sekolah baru dialihkan untuk program beasiswa yang tepat sasaran adalah langkah yang patut dipertimbangkan. Beasiswa yang berbasis data kemiskinan yang akurat akan jauh lebih efektif dalam memberikan kesempatan pendidikan yang setara bagi anak-anak yang kurang beruntung.

Sudah saatnya pemerintah merenungkan kembali rencana ini. Alih-alih menciptakan sekolah berkelas yang justru membelah, fokuslah pada upaya revitalisasi pendidikan secara menyeluruh. Susunlah peta jalan pendidikan yang jelas, tingkatkan kualitas guru, benahi infrastruktur yang ada, dan pastikan setiap anak bangsa, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas.

Jangan sampai niat baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru berujung pada segregasi yang semakin memperdalam ketidakadilan. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, bukan komoditas yang bisa dipilah-pilah berdasarkan status sosial ekonomi. (*)