Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Ubud: Harmoni Waktu dalam Bingkai Alam

Editor   |    25 April 2025    |   10:20:00 WITA

Ubud: Harmoni Waktu dalam Bingkai Alam
Ketika sentuhan kekinian berpadu damai dengan hamparan sawah abadi Ubud. (podiumnews)

TERLETAK di jantung Pulau Dewata, Ubud kini menjelma menjadi salah satu destinasi wisata paling dicari di kancah global. Dahulu, kawasan ini hanyalah sebuah desa yang lekat dengan ketenangan.

Namun, lanskap hijau yang memukau, warisan budaya yang kaya, serta atmosfer spiritual yang khas, sukses menarik jutaan wisatawan setiap tahunnya.

Popularitas Ubud saat ini merupakan buah dari perjalanan panjang, berakar dari sejarah mendalam dan dipengaruhi oleh visi para tokoh yang membentuk identitasnya.

Lebih dari Sekadar Tanaman Obat

Sebelum dikenal sebagai pusat pariwisata, Ubud menyimpan kekayaan sejarah dan tradisi Bali. Catatan sejarah mencatat keberadaan Ubud sejak abad ke-8 Masehi.

Nama "Ubud" sendiri berasal dari Bahasa Bali, "ubad," yang berarti obat, merujuk pada beragam tumbuhan berkhasiat yang tumbuh subur di wilayah ini.

Secara historis, Ubud berada di bawah kekuasaan raja-raja Gianyar, menjadi pusat kedudukan para penguasa feodal yang mendukung perkembangan seni dan budaya.

Kehidupan masyarakat Ubud pada masa itu didominasi oleh sektor pertanian dan kuatnya pengaruh tradisi Hindu, tercermin dalam ritual serta kerajinan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.

Kedatangan Para Visioner

Titik balik dalam sejarah Ubud terjadi pada awal abad ke-20, seiring kedatangan para seniman, sarjana, dan antropolog Barat yang tertarik dengan keindahan alam serta keunikan budaya Bali.

Salah satu figur kunci adalah Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tiba di Ubud pada tahun 1927. Dengan visi artistiknya, Spies memilih Ubud sebagai kediamannya dan mendirikan pusat seni di sana.

Ia menjalin kolaborasi erat dengan masyarakat setempat dan memainkan peran penting dalam mempromosikan citra "surga Bali" ke dunia Barat.

Tak lama kemudian, pelukis asal Belanda, Rudolf Bonnet, bergabung dengan Spies di Ubud atas undangannya. Bersama-sama, Spies dan Bonnet mengabadikan kehidupan masyarakat Ubud dalam karya seni mereka, yang kemudian dipamerkan di berbagai negara, semakin meningkatkan daya tarik Ubud.

Dukungan Kerajaan

Peran penting keluarga kerajaan Sukawati tak bisa diabaikan dalam perkembangan awal pariwisata di Ubud. Tjokorda Gde Agung Sukawati, penguasa Ubud pada masa itu, memiliki pandangan yang terbuka dan kemampuan berbahasa asing yang baik.

Ia membuka pintu Puri Saren Ubud bagi para pengunjung asing dan bahkan membangun penginapan untuk mengakomodasi mereka. Dukungan ini dilanjutkan oleh Tjokorda Gede Raka Sukawati, saudara penguasa, yang mengundang Walter Spies untuk tinggal dan berkarya di Ubud.

Keluarga kerajaan juga memberikan dukungan kepada seniman lain seperti Antonio Blanco, yang kemudian membangun rumah dan museumnya di Ubud.

Keramahan serta dukungan keluarga kerajaan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan pariwisata di Ubud.

Reputasi Mendunia

Ubud dengan cepat menjelma menjadi pusat seni dan budaya yang dikenal secara internasional. Pembentukan perkumpulan seni Pita Maha pada tahun 1936 oleh tokoh-tokoh seperti Tjokorde Gde Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan seniman lokal I Gusti Nyoman Lempad bertujuan untuk menjaga kualitas seni Bali di tengah pengaruh Barat.

Pendirian museum seni seperti Museum Puri Lukisan pada tahun 1956 semakin memperkuat status Ubud sebagai pusat seni. Daya tarik Ubud tidak hanya terletak pada seni lukis dan pahat, tetapi juga pada pertunjukan tari tradisional Bali, alunan musik gamelan, serta kerajinan lokal lainnya.

Ubud Masa Kini

Hingga saat ini, Ubud terus menjadi destinasi wisata favorit di Bali. Meskipun mengalami perkembangan pesat, Ubud tetap mempertahankan pesona kuno yang menarik wisatawan sejak awal.

Sawah terasering yang ikonis di Tegalalang, Mandala Wisata Wenara Wana (Monkey Forest), Puri Ubud, serta berbagai museum seni menjadi daya tarik utama.

Infrastruktur pariwisata di Ubud juga berkembang pesat dengan beragam pilihan akomodasi, mulai dari vila mewah hingga homestay yang dikelola oleh penduduk lokal. Berbagai restoran, kafe, dan spa juga menjamur, menawarkan pengalaman kuliner dan relaksasi yang beragam.

Namun, popularitas Ubud juga membawa sejumlah tantangan. Kemacetan lalu lintas menjadi masalah yang semakin meningkat, terutama pada musim liburan.

Perkembangan pariwisata yang pesat juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan pelestarian budaya lokal. Upaya untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan semakin menjadi perhatian, dengan berbagai inisiatif yang berfokus pada pelestarian lingkungan, dukungan terhadap komunitas lokal, serta promosi praktik pariwisata yang bertanggung jawab.

Tak Lekang Waktu

Perkembangan Ubud dari sebuah desa agraris menjadi destinasi wisata kelas dunia adalah cerminan kekayaan budaya, keindahan alam, dan semangat masyarakatnya. Dari pengaruh para seniman di masa awal hingga dukungan keluarga kerajaan, berbagai faktor telah berkontribusi pada transformasi ini.

Meskipun menghadapi tantangan di era modern, Ubud terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan pelestarian, memastikan bahwa pesonanya akan tetap abadi bagi generasi mendatang. (isu/suteja)


Baca juga: Mencintai Dua Orang Bukan Hal Tak Mungkin