Pulang dalam Sunyi Buleleng
“Di antara anyir kembang sandat dan kidung sayup gamelan, tersemat tanya: mimpi di rantau, kini pulang dalam sunyi Buleleng.”
MALAM itu, Jumat, 25 April 2025. Bukan gemuruh ombak Pantai Lovina yang menyambut, melainkan hening yang memenuhi rumah duka di Desa Bontihing, Kubutambahan. Setelah garis waktu yang membentang jauh, melintasi samudra dan benua, Kadek Melly Mudiani akhirnya tiba.
Bukan dengan langkah riang seorang yang kembali dari pengembaraan, melainkan dalam kebisuan sebuah peti jenazah. Amerika Serikat, tanah impian yang berubah menjadi panggung tragedi, telah mengantarkannya pulang.
Pemerintah Kabupaten Buleleng, dengan birokrasi yang biasanya lamban, kali ini bergerak cepat. Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Kesehatan menjadi garda depan, memfasilitasi sebuah perjalanan terakhir yang penuh duka.
Nyoman Suarjana, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja, dengan nada datar khas seorang birokrat yang menyimpan empati, menyebutnya sebagai "bentuk perhatian." Sebuah frasa sederhana yang menyiratkan tanggung jawab dan kepedulian.
Di kegelapan malam Bandara Ngurah Rai, sekitar pukul setengah delapan, sebuah seremoni sunyi terjadi. BP3MI, badan yang mengurusi nasib para pekerja migran, turut hadir. Dinas Kesehatan, dengan ambulans yang kelak mengantar Kadek Melly ke peristirahatan terakhir, juga menunggu. Sebuah kolaborasi antar lembaga, sebuah jalinan birokrasi yang kali ini bertujuan mulia: mengembalikan seorang anak Buleleng ke pangkuan ibunya.
Waktu berlalu lambat di terminal kargo. Pukul setengah sembilan malam, peti itu akhirnya keluar. Dinginnya baja bercampur dengan kehangatan air mata yang tak terlihat. Ambulans bergerak perlahan, membelah malam menuju utara. Pukul setengah dua belas dini hari, Bontihing menyambut. Bukan dengan tarian penyambutan, melainkan dengan isak tangis keluarga yang telah lama menanti.
Tanggal 30 April 2025 telah ditetapkan. Upacara Ngaben, ritual penyucian jiwa, akan dilaksanakan. Api akan menjilat, asap akan membubung, mengantarkan Kadek Melly ke alam keabadian. Sebuah tradisi yang mengakhiri sebuah perjalanan dunia yang terlalu singkat.
Kisah Kadek Melly adalah fragmen dari ribuan mimpi anak negeri yang mencari peruntungan di seberang lautan. Visa J-1, visa belajar, membawanya ke Amerika tiga bulan silam. Bukan untuk mencari kekayaan, melainkan ilmu, pengalaman, sebuah bekal untuk masa depan. Training, magang, kata-kata yang menyimpan harapan dan semangat. Namun, takdir memiliki narasi sendiri. Maret datang dengan kabar buruk, kecelakaan yang merenggut nyawa.
Pemkab Buleleng menyebut ini sebagai tanggung jawab. BP3MI berbicara tentang sinergi. Dinas Kesehatan menjalankan tugasnya. Namun, di balik kata-kata resmi itu, tersembunyi sebuah cerita tentang kerentanan, tentang impian yang kandas, tentang keluarga yang berduka. Kepulangan Kadek Melly bukan hanya tentang sebuah jenazah yang kembali ke tanah kelahiran. Ini adalah tentang akhir sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi harapan, yang tiba-tiba terhenti oleh takdir yang kejam.
Di senja yang mulai merayap di Bontihing, kesunyian berbicara lebih keras daripada kata-kata. Sebuah perjalanan telah usai, meninggalkan duka yang mendalam dan pertanyaan yang tak terjawab tentang jalan hidup yang begitu singkat. (*)
(Menot Sukadana)