Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Pulih dalam Sunyi yang Berkarya

Oleh Editor • 25 April 2025 • 22:51:00 WITA

Pulih dalam Sunyi yang Berkarya
Ilustrasi: Seorang yang menjalani slow living. (podiumnews)

PADA deru zaman yang dipacu oleh obsesi akan kecepatan dan pencapaian, muncul kerinduan yang aneh: sebuah keinginan untuk menepi, untuk merayakan kelambatan sebagai sebentuk kearifan.

Inkyo, dulu lekat dengan samurai senja yang mencari ketenangan setelah riuh pedang, kini menemukan resonansinya dalam praktik slow living. Bukan lagi soal mengasingkan diri dari medan perang fisik, melainkan dari medan pertempuran gagasan dan citra diri yang tak pernah usai.

Bayangkanlah sebuah ruang di mana waktu terasa melonggar, di mana produktivitas diukur bukan dari tumpukan materi atau riuhnya pengakuan, melainkan dari kualitas kehadiran dalam setiap detik. Di sana, di tengah hijaunya tumbuh-tumbuhan dan heningnya pagi yang perlahan merekah, tersembunyi sebuah kritik implisit terhadap kegilaan modernitas.

Slow living, dalam konteks inkyo modern ini, bukanlah sekadar tren gaya hidup yang diperjualbelikan. Ia adalah sebentuk penolakan yang halus terhadap tirani "lebih cepat, lebih banyak, lebih instan". Ia mempertanyakan kembali definisi kemajuan. Apakah kita benar-benar bergerak maju jika kehilangan kemampuan untuk merasakan kehangatan mentari di kulit, atau menikmati aroma tanah basah setelah hujan?

Di balik pilihan untuk melambatkan ritme hidup ini, tersembunyi sebuah pencarian yang lebih mendasar: makna di luar ukuran-ukuran material dan pengakuan eksternal. Inkyo dalam slow living adalah upaya untuk merebut kembali waktu yang telah dirampas oleh ambisi dan tuntutan zaman. Ia adalah ruang untuk kontemplasi, untuk memulihkan relasi yang retak dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan sesama.

Mungkin ada yang bertanya, apakah fenomena ini adalah sebentuk paradoks. Di tengah kemudahan koneksi digital, mengapa justru muncul kerinduan untuk menyepi? Apakah ini pertanda kelelahan eksistensial, sebuah pengakuan bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang esensial dalam hiruk pikuk kemajuan?

Namun, di balik paradoks itu, tersembunyi sebuah harapan. Pilihan untuk inkyo dalam slow living adalah sebentuk keberanian untuk mendefinisikan ulang kesuksesan. Bukan lagi soal menaklukkan dunia, melainkan menaklukkan diri sendiri, menemukan ketenangan di tengah badai informasi, dan merayakan keindahan dalam kesederhanaan.

Ia adalah bisikan lirih bahwa hidup yang bermakna tidak selalu harus diukur dengan kecepatan dan kebisingan, melainkan dengan kehadiran yang penuh dan kesadaran akan setiap momen yang terlewati. Dan mungkin, di keheningan pilihan ini, kita menemukan kembali jejak kemanusiaan yang sempat terabaikan. (*)

(Menot Sukadana)