Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Buleleng "Melek" Setelah Viral

Oleh Editor • 29 April 2025 • 19:57:00 WITA

Buleleng "Melek" Setelah Viral
Ilustrasi: Editorial. (podiumnews)

SOROTAN publik seantero negeri akhirnya memaksa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng untuk bergerak. Hampir sebulan lamanya, kabar pilu mengenai ratusan siswa SMP yang kesulitan membaca mencuat, menjadi isu nasional yang diperbincangkan dari warung kopi hingga linimasa media sosial. Baru pada Selasa (29/4/2025), rapat penyusunan strategi penyelesaian masalah ini digelar di ruang bupati.

Sebuah respons yang terasa lamban, bahkan cenderung setelah "mata" nasional terbuka lebar dan menyorot tajam ke lalainya penanganan masalah mendasar ini.

Pengakuan Sekretaris Daerah (Sekda) Buleleng, Gede Suyasa, bahwa akar permasalahan literasi ini bahkan bersemi di tingkat Sekolah Dasar (SD), justru menambah ironi. Mengapa akumulasi persoalan pendidikan dasar ini baru terdeteksi dan direspons ketika sudah menjangkau jenjang SMP dan menjadi konsumsi publik?

Data awal yang menyebutkan 375 siswa SMP bermasalah dalam membaca, meski secara persentase kecil (0,01 persen), tetaplah angka yang mengkhawatirkan. Lebih jauh lagi, temuan siswa kelas 4-6 SD yang belum melek huruf mengindikasikan gunung es permasalahan yang lebih besar.

Patut diapresiasi memang langkah-langkah yang kini digagas. Keterlibatan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) dan Unit Layanan Disabilitas (ULD) untuk memberikan pembelajaran khusus dan pendampingan intensif, serta dukungan finansial dari Bank BPD Bali Cabang Singaraja, menunjukkan keseriusan yang baru muncul. Rencana tes IQ dan pendampingan intensif selama enam bulan juga menjadi angin segar bagi perbaikan kualitas literasi siswa.

Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa respons ini baru hadir setelah gelombang kritik publik tak terbendung? Bukankah seharusnya deteksi dini dan intervensi masalah literasi menjadi agenda prioritas dinas pendidikan setempat?

Keterlambatan ini bukan hanya mencerminkan kurangnya kepekaan terhadap masalah di lapangan, tetapi juga potensi hilangnya waktu berharga dalam perkembangan kemampuan siswa.

Langkah Pemkab Buleleng untuk mengatasi potensi siswa putus sekolah dengan pengadaan pakaian gratis dan bantuan transportasi juga patut dicatat. Ini menunjukkan pemahaman akan kompleksitas masalah pendidikan yang saling terkait. Namun, akar masalah, yakni fondasi literasi yang lemah, harus menjadi fokus utama.

Semoga, "keterlambatan melek" ini tidak menjadi preseden. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia perlu bercermin pada kasus Buleleng. Pengawasan dan evaluasi berkala terhadap kemampuan dasar siswa, terutama literasi dan numerasi, harus menjadi agenda rutin. Jangan sampai masalah krusial seperti ini baru disadari dan ditangani setelah menjadi viral dan memicu kegaduhan nasional.

Ke depan, respons yang cepat dan tindakan preventif adalah kunci untuk memastikan setiap anak bangsa mendapatkan haknya atas pendidikan yang berkualitas. Buleleng, semoga kali ini benar-benar "melek" dan bertindak lebih sigap. (*)