Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Aksara yang Merintih di Buleleng

Oleh Editor • 29 April 2025 • 20:40:00 WITA

Aksara yang Merintih di Buleleng
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEBELUM riuh rendah jagat maya menyorot, sebelum tagar-tagar keprihatinan membahana, mungkin hanya sunyi yang bersemayam di ruang-ruang kelas Buleleng. Namun, di balik sunyi itu, aksara-aksara rupanya tak lagi menari riang di mata para siswa. Mereka merintih. Merintih karena tak mampu menjelma jendela dunia, merintih karena terasing dalam labirin kalimat yang tak terpahami.

Kisah tentang ratusan bocah SMP yang kesulitan membaca adalah bukan sekadar statistik. Ia adalah simfoni bisu dari potensi yang terhambat, dari masa depan yang buram. Aksara, yang seharusnya menjadi jembatan ilmu dan imajinasi, justru menjelma tembok tinggi yang memisahkan mereka dari gemerlap pengetahuan.

Ironisnya, rintihan aksara ini agaknya baru terdengar nyaring setelah "orkestra" media sosial memainkan notasinya. Pemerintah daerah pun tersentak, seperti dibangunkan dari mimpi panjang. Rapat-rapat digelar, janji-janji diucapkan, seolah-olah masalah yang mengakar ini bisa diselesaikan dalam semalam.

Kita bertanya, ke mana perginya kepekaan selama aksara-aksara itu merintih dalam sunyi? Apakah mata dan telinga penguasa baru berfungsi ketika sorotan lampu publik menyala terang? Sebuah pertanyaan yang menggantung di udara, seperti kabut pagi yang enggan beranjak.

"Aksara yang merintih" adalah metafora yang pedih. Ia menggambarkan bukan hanya kesulitan individual, tetapi juga potret kolektif sebuah sistem yang mungkin lalai dalam merawat fondasi literasi. Fondasi yang, jika rapuh, akan meruntuhkan bangunan mimpi dan cita-cita generasi mendatang.

Respons yang kini terlihat, meski terlambat, adalah sebentuk pengakuan. Namun, pengakuan tanpa introspeksi mendalam dan tindakan berkelanjutan hanyalah riuh sesaat. Kita berharap, rintihan aksara di Buleleng ini tidak hanya mengusik telinga, tetapi juga menyentuh hati dan menggerakkan tangan untuk perubahan yang sesungguhnya.

Sebab, di balik setiap aksara yang merintih, ada hak yang terampas, ada potensi yang terkubur. Dan tugas kita adalah mendengarkan rintihan itu, mengubahnya menjadi melodi harapan, agar di Buleleng, dan di seluruh negeri, aksara kembali menari dengan riang di mata setiap anak bangsa. (*)

(Menot Sukadana)