Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Endek Palsu Gerogoti Bali

Oleh Editor • 30 April 2025 • 18:49:00 WITA

Endek Palsu Gerogoti Bali
Produksi massal Endek, ancaman bagi tenun tradisional Bali. (podiumnews)

LAMPU sorot fashion show boleh jadi gemerlap, memamerkan keindahan wastra adiluhung Bali. Namun, di balik kilau benang emas dan rumitnya motif, tersembunyi benang-benang pengkhianatan yang menggerogoti jantung warisan budaya.

Putri Suastini Koster, dalam nada prihatin yang pantas, membuka tabir fakta yang menyesakkan: kain endek Bali, yang seharusnya menjadi kebanggaan Pulau Dewata, kini justru didominasi oleh produk imitasi dari seberang lautan. Delapan dari sepuluh helai endek yang beredar bukanlah sentuhan tangan pengrajin lokal, melainkan produksi massal dari Troso. Sebuah ironi yang pedih.

Bagaimana mungkin identitas kultural sebuah daerah, yang diwariskan dari generasi ke generasi, bisa begitu rapuh di kandangnya sendiri? Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, meski kerugian bagi perajin lokal tentu tak terperi. Ini adalah penggerusan kedaulatan budaya, hilangnya ruh dalam selembar kain. Ketika wisatawan datang mencari otentisitas Bali, yang mereka dapati justru fabrikasi murahan yang mengkhianati keunikan tradisi.

Lebih lanjut, luka warisan Bali semakin menganga dengan praktik biadab penjiplakan motif songket pada kain bordir. Motif-motif sakral yang lahir dari kearifan lokal dan telah dilindungi hak kekayaan intelektual komunal, kini dengan pongahnya diduplikasi demi keuntungan sesaat. Ini bukan lagi sekadar inspirasi, melainkan perampokan identitas. Para perajin bordir yang latah meniru, alih-alih menciptakan inovasi, justru menjadi agen penghancur keunikan Bali.

Ajakan Putri Koster kepada Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) untuk fokus pada pelestarian di daerah masing-masing adalah langkah yang tepat. Namun, lebih dari sekadar retorika kecintaan, dibutuhkan aksi nyata dan terukur. Pemerintah daerah harus hadir dengan regulasi yang tegas untuk melindungi perajin lokal dan menindak para pedagang yang memperdagangkan kain imitasi. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya membeli produk asli Bali harus digencarkan.

Kain tradisional bukan sekadar komoditas. Ia adalah narasi sejarah, identitas komunal, dan ekspresi seni yang tak ternilai harganya. Jika kita membiarkan benang-benang pengkhianatan ini terus merajalela, bukan hanya perekonomian perajin yang akan sekarat, tetapi juga jiwa Bali itu sendiri.

Sudah saatnya kita merapatkan barisan, merajut kembali benang-benang kebanggaan, dan menolak segala bentuk pemalsuan yang merendahkan warisan leluhur. Jangan sampai keindahan kain Bali hanya menjadi kenangan usang di balik etalase toko suvenir. Masa depan tenun Bali ada di tangan kita, hari ini. (*)