Bali Selektif: Menjaring Bibit, Demi Tanah Dewata
PENOLAKAN sejumlah pelamar kerja dari luar Bali baru-baru ini memicu perdebatan hangat. Sebagian melihatnya sebagai diskriminasi, namun jika ditelisik lebih dalam, fenomena ini bisa jadi merupakan manifestasi dari upaya Pulau Dewata untuk menata diri menyongsong masa depan.
Bali, dengan segala keunikan budaya dan ekosistemnya yang rentan, tengah berjuang menahan laju dampak pariwisata massal yang tak terkendali.
Selama ini, Bali kerap kali "kebanjiran" pendatang dengan berbagai latar belakang dan tujuan.
Tak sedikit di antaranya yang datang tanpa bekal memadai, baik dari segi keterampilan maupun pemahaman akan kearifan lokal. Akibatnya, masalah sosial seperti kriminalitas, kesenjangan ekonomi, hingga tekanan terhadap lingkungan tak jarang muncul.
Penolakan terhadap sebagian pelamar kerja ini, meski terasa pahit, bisa jadi merupakan sinyal kuat bahwa Bali mulai berbenah.
Ini bukan semata soal menutup pintu bagi siapa saja dari luar. Lebih dari itu, ini adalah tentang mencari individu-individu yang tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga memiliki kesadaran untuk berkontribusi positif terhadap Bali.
Mereka yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, menghormati tradisi, dan memiliki komitmen untuk menjaga kelestarian alam Bali.
Fenomena ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Baik bagi para pencari kerja untuk mempersiapkan diri lebih matang, maupun bagi pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan yang lebih terukur dan transparan terkait kebutuhan tenaga kerja.
Ini juga menjadi momentum bagi masyarakat Bali untuk merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang selama ini dipegang, dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dipertahankan di tengah arus globalisasi.
Mari bersama-sama mawas diri. Bali adalah permata yang harus dijaga. Seleksi ketat hari ini, bisa jadi adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik, di mana pariwisata berjalan selaras dengan kelestarian alam dan keharmonisan sosial. (*)