Bali dan Mimpi Listrik
BALI. Sebuah nama yang terukir dalam angan para pengembara, sebentuk puisi bumi yang dilafalkan dalam berbagai bahasa. Ia adalah panggung di mana tari sakral dan desah ombak berpadu, di mana sawah laksana permadani hijau membentang di bawah tatapan gunung-gunung purba. Di sana, wajah Indonesia tersenyum, menawarkan keindahan yang membius dan keramahan yang menghangatkan.
Namun, malam itu, di tanggal yang menyimpan jejak kelam, tirai cahaya yang memeluk pulau itu sejenak runtuh. Listrik, urat nadi peradaban yang seringkali tak kita hiraukan hingga ia menghilang, mendadak membisu. Bali, yang menjanjikan gemerlap dan kelancaran bagi para musafir, terbungkus dalam sunyi dan gelap. Sebuah kata teknis, "blackout," menjelma menjadi metafora kerapuhan, sebuah jeda dalam simfoni keindahan yang biasa kita dengar.
Kendati respons PLN patut diacungi jempol—sebuah gerak cepat yang memulihkan denyut nadi pulau dalam hitungan jam—peristiwa ini adalah bisikan yang tak bisa diabaikan. Sebuah destinasi yang menjadi jendela Indonesia ke dunia, layaknya berdiri di atas pijakan yang teguh, terutama dalam hal energi. Ketergantungan adalah rantai yang mengikat, sebuah noktah di kanvas citra yang ingin kita lukis sempurna.
Permohonan maaf dari pucuk pimpinan PLN, dan anggukan apresiasi dari sang penguasa pulau, adalah catatan penting dalam lembar interaksi manusia. Komunikasi adalah jembatan kepercayaan, dan pengakuan atas ketidaknyamanan adalah sebentuk kerendahan hati. Namun, tatapan kita harus melampaui respons sesaat.
Bali, dengan kekayaan spiritual dan alamnya, menyimpan benih kemandirian energi. Sang surya yang setia menyinari, perut bumi yang menyimpan bara tersembunyi, adalah puisi sumber daya yang menanti untuk dideklarasikan. Merangkul energi terbarukan bukan hanya soal harmoni dengan alam, namun juga tentang harga diri sebuah bangsa. Sebuah Bali yang bercahaya dari sumbernya sendiri akan memancarkan pesona yang tak terbandingkan.
"Blackout" itu adalah sebaris kalimat yang hilang dalam kidung tentang Bali. Namun, dalam kegelapan sesaat, mungkin kita mampu melihat refleksi yang lebih jujur. Wajah Indonesia, yang terpantul di kolam renang infinity dan ukiran batu pura, membutuhkan lebih dari sekadar lanskap yang memukau. Ia membutuhkan ketahanan, kemandirian, dan keberanian untuk menulis babak baru dalam kisahnya. Bali, yang selama ini adalah jendela, kini memiliki takdir untuk menjadi lentera—bukan hanya bagi para pelancong, tetapi juga bagi mimpi kemandirian energi sebuah negeri. (*)
(Menot Sukadana)