BELAKANGAN, linimasa media sosial kita diramaikan oleh fenomena eksplorasi tempat-tempat yang dianggap angker. Para konten kreator, dengan bermodal kamera dan keberanian (atau mungkin sensasi), menjelajahi bangunan atau lokasi terbengkalai yang konon menyimpan kisah mistis. Fenomena ini memang menarik perhatian sebagian warganet, memicu rasa penasaran dan ketegangan. Namun, di balik konten yang viral, tersimpan potensi masalah yang patut kita cermati bersama. Salah satu dampak nyata dari maraknya eksplorasi angker adalah potensi ketidaktertiban. Kedatangan sekelompok orang, seringkali tanpa izin yang jelas, ke lokasi-lokasi yang umumnya tidak terawat atau bahkan berbahaya, dapat mengganggu ketenangan lingkungan sekitar. Meskipun diakui ada sebagian kecil explorer yang dikabarkan telah mengantongi izin dari pihak terkait, frekuensi dan skala kegiatan eksplorasi secara umum tetap menimbulkan kekhawatiran akan potensi gangguan ketertiban. Tak jarang, aktivitas ini menarik perhatian warga setempat yang penasaran, menimbulkan kerumunan, dan bahkan berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Lokasi yang seharusnya dijaga keamanannya justru menjadi arena tontonan yang tidak terkontrol. Lebih jauh lagi, fenomena live streaming saat eksplorasi angker memunculkan praktik yang cukup problematik: meminta gift dari penonton. Dengan narasi ketegangan dan klaim adanya penampakan, tak sedikit konten kreator yang secara terang-terangan atau terselubung mengharapkan donasi virtual dari para pengikutnya. Praktik ini menimbulkan pertanyaan etis. Apakah rasa penasaran dan ketegangan penonton dieksploitasi demi keuntungan pribadi? Apakah konten yang disajikan benar-benar otentik, atau sekadar dramatisasi untuk menarik gift sebanyak-banyaknya? Kita perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tren ini. Jika eksplorasi angker terus dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, bukan tidak mungkin akan semakin banyak lokasi terbengkalai yang menjadi sasaran, mengganggu privasi pemilik (jika ada), merusak potensi cagar budaya atau sejarah (jika lokasi tersebut memiliki nilai), dan menciptakan preseden buruk bagi pemanfaatan ruang publik. Alih-alih fokus pada sensasi dan potensi keuntungan pribadi melalui gift, bukankah lebih bermanfaat jika para konten kreator mengedepankan konten yang lebih edukatif dan membangun? Menjelajahi sejarah suatu tempat dengan riset yang mendalam, mengangkat isu sosial yang relevan, atau mempromosikan keindahan alam dan budaya Bali yang sesungguhnya tentu akan memberikan dampak yang lebih positif bagi masyarakat. Tentu, kreativitas dalam membuat konten patut dihargai. Namun, kebebasan berekspresi hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Eksplorasi tempat angker, jika tidak dilakukan dengan etika dan izin yang jelas, berpotensi menciptakan ketidaktertiban dan bahkan eksploitasi. Mari kita bersama-sama mendorong konten yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab, demi Bali yang lebih tertib dan bermartabat. Jangan biarkan sensasi sesaat mengalahkan nilai-nilai luhur dan ketertiban yang kita junjung tinggi. (*)
Baca juga :
• Keadilan dan Kasih Sayang untuk Nenek Reja
• Vila Sunyi, Bahaya yang Tak Terdata
• Adat Bali: Antara Gagasan dan Aksi