KONON, garis-garis pertama nasib kita telah terukir, sebuah sketsa yang hadir tanpa campur tangan kita, buah dari tangan Sang Pencipta. Di sana mungkin telah terbentang gunung dan lembah, sungai yang berkelok, atau padang yang lapang. Namun, sketsa itu, betapapun definitifnya ia tampak, hanyalah permulaan. Ia adalah potensi, ruang kosong yang menanti sentuhan. Di sinilah kemudian hadir kita, para pelukis kehidupan. Kita tidak mengubah garis-garis dasar itu, sebab ia telah menjadi ketentuan. Namun, kita memiliki palet warna di tangan. Merah keberanian, biru kesedihan, hijau harapan, kuning keceriaan, dan ribuan warna lainnya yang mewakili setiap pilihan, setiap tindakan, setiap jejak yang kita torehkan di atas kanvas sketsa itu. Setiap sapuan kuas adalah sebuah keputusan. Apakah kita memilih warna-warna cerah untuk menonjolkan keindahan di balik garis yang terjal? Atau justru kita biarkan warna kelabu mendominasi, menutupi potensi keindahan yang tersembunyi? Di sanalah letak paradoks kebebasan dalam takdir. Kita terikat pada bentuk yang telah ada, namun kita merdeka untuk mewarnainya sesuka hati. Gagasan tentang nasib sebagai sketsa dan kehidupan sebagai proses pewarnaan membawa kita pada perdebatan klasik tentang determinisme dan kehendak bebas. Apakah kita sepenuhnya terikat pada garis yang telah ditarik, ataukah kita memiliki otonomi untuk menentukan rona akhir lukisan hidup kita? Dalam konteks ini, kita bisa merenungkan ucapan Friedrich Nietzsche: "Menjadi diri sendiri adalah menjadi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya." Sketsa takdir mungkin memberikan batasan awal, sebuah "diri" yang potensial. Namun, melalui pilihan-pilihan dan tindakan kita, melalui warna-warna yang kita goreskan, kita mewujudkan potensi itu menjadi sesuatu yang unik, yang "belum pernah ada sebelumnya." Kita tidak sekadar mengisi ruang kosong; kita menciptakan identitas dan makna di dalamnya. Lebih jauh lagi, kita dapat mengingat kata-kata Victor Frankl: "Segala sesuatu dapat direnggut dari manusia kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia untuk memilih sikapnya dalam setiap keadaan, untuk memilih jalannya sendiri." Bahkan dalam situasi paling ekstrem, di mana garis takdir terasa begitu mengikat dan kejam, manusia tetap memiliki kebebasan internal untuk memilih bagaimana ia akan merespons, warna apa yang akan ia gunakan untuk mewarnai pengalamannya. Sikap inilah yang pada akhirnya menentukan kualitas "lukisan" hidupnya, bukan semata-mata garis sketsa yang diberikan. Maka, mari kita resapi setiap warna yang kita pilih. Sebab, kelak, ketika sketsa itu telah penuh dengan warna dan menjelma menjadi sebuah lukisan, ia akan bercerita tentang perjalanan kita, tentang keberanian kita memilih, tentang keindahan yang kita ciptakan di tengah garis-garis takdir yang telah ditentukan. Sebuah lukisan yang unik, personal, sebuah perwujudan dari kebebasan di dalam batasan. Kita tidak hanya menerima sketsa; kita aktif menggoreskan warna, memberikan jiwa pada kanvas nasib kita sendiri. (Menot Sukadana)
Baca juga :
• Sebuah Sore, dan Waktu yang Mengendap
• Dimulai dari Nol
• Cerita yang Tak Punya Sponsor