Topeng Ormas, Wajah Premanisme
LAGI-LAGI kita menyaksikan paradoks yang menyesakkan di negeri ini. Gembar-gembor tentang masyarakat madani dan penegakan hukum seolah hanyalah fatamorgana di tengah gurun kenyataan.
Di sudut-sudut kota hingga pelosok desa, ormas-ormas yang mengaku sebagai representasi kepentingan masyarakat justru menampilkan wajah bengis premanisme. Alih-alih menjadi agen perubahan positif, mereka justru menebar ketakutan dan merampas hak-hak warga negara.
Topeng agama atau nasionalisme yang mereka kenakan tak mampu menyembunyikan praktik-praktik kotor berupa pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan yang merajalela. Inilah ironi yang menganga, sebuah noda gelap di wajah demokrasi kita.
Fenomena ini bukan sekadar ekses dari transisi politik yang belum usai. Ia adalah manifestasi dari kegagalan negara dalam menegakkan kedaulatan hukum secara konsisten dan tanpa pandang bulu.
Kekosongan otoritas yang seharusnya diisi oleh negara, justru direbut oleh kelompok-kelompok yang mengandalkan otot dan ancaman. Mereka membangun kekuasaan semu di atas ketidakberdayaan masyarakat, memungut "upeti" dengan dalih keamanan atau kontribusi sosial, padahal esensinya adalah pemerasan terselubung.
Lebih jauh, kita melihat bagaimana relasi yang ambigu antara ormas-ormas ini dengan kekuasaan yang lebih tinggi. Tak jarang, elite politik atau aparat penegak hukum justru memelihara hubungan simbiosis mutualisme yang merugikan kepentingan publik.
Dukungan politik atau "backing" dari pihak tertentu memberikan keleluasaan bagi ormas-ormas ini untuk bertindak di luar batas hukum, sementara imbal baliknya bisa berupa mobilisasi massa atau dukungan elektoral. Sebuah lingkaran setan yang sulit diputus.
Di mana letak tanggung jawab kita sebagai warga negara? Apakah kita akan terus menjadi penonton bisu atas praktik-praktik yang jelas-jelas merusak tatanan sosial ini?
Keberanian untuk bersuara dan menuntut tindakan tegas dari negara adalah langkah awal. Namun, lebih dari itu, dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa premanisme, dalam bentuk dan kedok apapun, adalah musuh bersama yang harus dilawan.
Bangsa ini pernah memiliki mimpi tentang Indonesia yang adil dan beradab. Mimpi itu terasa semakin jauh di tengah maraknya ormas yang justru menanggalkan adab dan menginjak-injak keadilan.
Mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali makna kebebasan berserikat dan berkumpul. Apakah kebebasan itu harus dibayar dengan ketakutan dan ketidakamanan?
Pertanyaan ini menggantung di udara, menuntut jawaban yang bukan sekadar retorika, melainkan tindakan nyata. Sebab, jika kita terus membiarkan topeng ormas menyembunyikan wajah premanisme, maka mimpi tentang Indonesia yang berdaulat dan bermartabat hanya akan tinggal menjadi kenangan pahit. (*)
Menot Sukadana