Harmoni Malam, Toleransi Denpasar
DENPASAR dengan dinamika kehidupan modern dan kekayaan tradisi, adalah rumah bagi beragam aktivitas, termasuk geliat usaha yang turut mewarnai malam. Namun, kisah keluhan warga di sekitar Jalan Dukuh nomor 5X, Gatot Subroto Timur, akibat musik warung yang berlarut, menjadi pengingat penting tentang fondasi utama kehidupan bermasyarakat: harmoni dan toleransi.
Insiden ini bukan sekadar persoalan kebisingan, melainkan menyentuh esensi hidup bertetangga. Di tengah padatnya permukiman dan beragamnya gaya hidup, kemampuan untuk saling menghormati dan bertoleransi menjadi perekat sosial yang krusial. Aktivitas sebuah usaha, meskipun memiliki hak untuk berkembang, tidak boleh menggerus hak mendasar warga untuk beristirahat dengan tenang di rumah mereka sendiri.
Tindakan Bhabinkamtibmas yang turun tangan memediasi adalah contoh bagaimana pendekatan yang humanis dan dialog menjadi jalan keluar yang diupayakan. Kehadiran tokoh masyarakat adat dan perangkat desa juga menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya urusan individu, melainkan menyangkut tatanan sosial dan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi di Bali.
Sayangnya, ketidakpatuhan terhadap teguran yang sudah ada menjadi catatan penting. Toleransi bukanlah jalan satu arah. Ia membutuhkan kesediaan dari setiap pihak untuk mendengarkan, memahami, dan menyesuaikan diri. Pengelola usaha memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak aktivitas mereka terhadap lingkungan sekitar, termasuk kebisingan yang dapat mengganggu ketenangan warga.
Keputusan pemilik kos untuk tidak memperpanjang kontrak, meski mungkin menimbulkan kerugian materiil bagi pengelola warung, adalah cerminan dari pentingnya menjaga keseimbangan dan melindungi hak mayoritas warga untuk hidup nyaman. Ini adalah pelajaran pahit namun berharga tentang konsekuensi dari kurangnya tenggang rasa dalam bertetangga.
Denpasar, sebagai rumah kita bersama, membutuhkan kesadaran kolektif untuk menciptakan lingkungan yang harmonis. Toleransi bukan berarti mengalah pada setiap keinginan, tetapi lebih kepada kemampuan untuk hidup berdampingan dengan menghargai perbedaan dan kebutuhan masing-masing. Malam yang tenang adalah hak setiap warga, dan menjaganya adalah tanggung jawab bersama.
Kisah dari Gatsu Timur ini semoga menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat di Denpasar. Mari kita kedepankan dialog, saling pengertian, dan kesediaan untuk berkompromi demi menjaga harmoni kehidupan bertetangga. Toleransi adalah investasi jangka panjang untuk kedamaian dan kenyamanan kita bersama di Pulau Dewata ini. Jangan biarkan bisingnya kepentingan sesaat merusak keindahan harmoni yang telah lama kita jaga.(*)