Gelak Tawa di Tengah Kesunyian Makna
HARI INI, panggung politik riuh oleh suara-suara keras yang seringkali kosong. Mereka hadir di berbagai platform, bukan untuk berdebat, melainkan untuk menghibur. Bukan memimpin, tapi tampil. Layaknya badut, mereka menghibur diri sendiri dan kekuasaan yang memberi mereka ruang, asalkan tidak mengganggu pertunjukan utama. Politik bukan lagi adu gagasan, melainkan arena peran, mengutamakan tampilan absurd daripada keberanian demi kebenaran. Panggung terbuka bagi siapa saja yang rela bertopeng.
Badut, simbol kekacauan yang diterima, kini mengalihkan perhatian dari masalah mendasar: korupsi, kebijakan tak logis, penderitaan rakyat. Politisi lebih sibuk dengan gimmick daripada kerja, menciptakan kehebohan alih-alih kebijakan, lihai bergestur lucu daripada bicara jujur.
Di dunia politik semacam ini, badut bukan lagi pemecah kebekuan, melainkan pembeku kesadaran. Lakon lama dengan kemasan baru, janji usang dengan istilah trendi—esensinya: menunda perubahan. Mereka adalah pengalih perhatian, agar rakyat lupa sistem tak bekerja untuk mereka, menciptakan sensasi agar esensi terabaikan. Mereka menyerang dengan pantun, bukan argumen, membuat tertawa padahal seharusnya marah.
Namun, di tengah tekanan, hiburan memang menenangkan. Dalam demokrasi yang kehilangan ruh, badut jadi "pahlawan", mengisi kekosongan makna dengan atraksi, "penyelamat" dari kejenuhan meski tak menyelesaikan masalah. Zaman kita melahirkan karakter, dan yang laku adalah yang memancing emosi. Kualitas diukur dari views, bukan visi; dari respons cepat di medsos, bukan ketekunan menyusun kebijakan.
Politik, dari urusan kebajikan jadi panggung narasi cetek. Menyanyi di bencana dianggap empati, menari di kampanye adalah kedekatan, memeluk untuk foto adalah cinta. Badut mahir membungkus absurditas jadi atraksi, tahu bahwa yang dibutuhkan bukan perubahan, tapi persepsi perubahan. Mereka hadir bukan memperbaiki, tapi menenangkan; bukan menyadarkan, tapi melupakan.
Humor bisa jadi perlawanan, tapi saat kekuasaan ikut tertawa, waspadalah: mungkin kekuasaan menertawakan rakyat. Humor jadi kabut, ironi jadi strategi. Badut bukan lagi pengganggu, tapi alat status quo. Mereka ada di parlemen, partai, lembaga negara, bahkan bisa jadi pemimpin tertinggi. Masyarakat yang lelah justru menyambut mereka yang menghibur.
Dulu, politik adalah keseriusan. Bung Karno berorasi membakar imajinasi, Bung Hatta menulis dengan dingin penuh tanggung jawab, Natsir menyusun argumen bagai doa. Kini, pidato kenegaraan jadi pertunjukan, debat dipotong iklan, sidang jadi konten viral. Kita menonton tanpa peduli naskahnya.
Bagaimana kembali serius jika panggung penuh badut? Bagaimana memperbaiki sistem jika perhatian terkuras tingkah mereka? Bagaimana berharap pemimpin sejati jika memilih yang menghibur? Demokrasi bukan soal tertawa, tapi berpikir bersama, menyusun masa depan, bukan menjual masa lalu dalam meme.
Jika memilih sensasi, yang datang adalah pelawak tanpa kritik. Kita butuh tawa yang sadar, hiburan yang tak membius, pemimpin yang bisa tertawa tapi tak menjadikan kekuasaan lelucon. Badut tak harus diusir, tapi panggung demokrasi tak boleh seluruhnya milik mereka.
Karena saat semua jadi hiburan, keadilan lenyap, hanya dekorasi tersisa, dan rakyat tetap penonton yang tak diajak bicara serius. Politik tak harus kaku, tapi tak boleh kehilangan arah. Jika semua hanya untuk tertawa, kapan kita bertanya mengapa kita masih menderita?
(Menot Sukadana)