Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Kain Sakral, Sunyi yang Dijaga

Oleh Editor • 15 Mei 2025 • 22:23:00 WITA

Kain Sakral, Sunyi yang Dijaga
Ilustrasi: peragaan busana adat Bali. (podiumnews)

KAIN-KAIN itu menyimpan cerita. Bukan sekadar warna yang memikat mata, atau tenunan rumit yang memamerkan keahlian jemari. Lebih dari itu, pada helai-helai tertentu, tersemayam bisikan leluhur, jejak ritual yang khusyuk, dan resonansi makna yang melampaui sekadar estetika.

Pesta Kesenian Bali (PKB) yang akan datang menjanjikan parade busana adat, sebuah perayaan visual atas kekayaan warisan pulau ini. Namun, di balik gemerlap yang mungkin terpancar, sebuah kehati-hatian yang bijak telah disuarakan: busana adat sakral sebaiknya tak dihadirkan di panggung perayaan.

Keputusan yang diutarakan Ny. Putri Koster, dan didukung oleh Dinas Kebudayaan, menyentuh sebuah tegangan yang abadi dalam relasi antara tradisi dan modernitas, antara sakralitas dan profanitas. Ada kalanya, hasrat untuk memamerkan kekayaan budaya, untuk menjadikannya tontonan yang memukau, berbenturan dengan kebutuhan untuk menjaga inti dari nilai-nilai itu sendiri. Busana adat sakral bukanlah sekadar kostum; ia adalah representasi konkret dari keyakinan, medium penghubung dengan yang transenden, dan penjaga memori kolektif.

Menariknya ke tengah keramaian, menjadikannya bagian dari parade yang disaksikan khalayak ramai, berpotensi mengikis aura kekhusyukan yang melekat padanya. Ada semacam batas yang tak kasat mata, namun terasa kuat, antara ruang ritual yang hening dan panggung pertunjukan yang riuh. Membawanya melintasi batas itu bisa jadi serupa dengan menerjemahkan puisi ke dalam prosa—maknanya mungkin tersampaikan, namun kehilangan sebagian besar dari getar dan keintiman aslinya.

Namun, larangan ini bukanlah sebuah penyangkalan terhadap keindahan atau pentingnya busana adat sakral. Justru sebaliknya, ia adalah pengakuan akan nilainya yang lebih tinggi, sebuah upaya untuk melindunginya dari reduksi menjadi sekadar objek visual. Kebijaksanaan terletak pada pemahaman bahwa tidak semua yang berharga harus dipamerkan. Ada kalanya, kesunyian dan keintiman adalah ruang yang paling tepat untuk menjaga kelestarian makna.

Parade busana adat yang akan datang tetaplah penting. Ia menjadi wahana untuk memperkenalkan keberagaman, menghidupkan kembali yang terlupakan, dan membangkitkan kebanggaan. Busana pengantin, misalnya, dengan segala keindahannya, masih memiliki ruang dalam perayaan ini, mungkin karena konteks penggunaannya yang lebih dekat dengan ranah sosial dan perayaan hidup.

Pada akhirnya, keputusan ini adalah tentang menemukan keseimbangan. Bagaimana kita merayakan kekayaan budaya tanpa mengorbankan esensinya? Bagaimana kita menjaga warisan agar tetap hidup dan relevan tanpa menjadikannya sekadar komoditas tontonan? Jawaban mungkin terletak pada pemahaman bahwa ada wilayah-wilayah sakral yang sebaiknya tetap dijaga dalam keheningannya, agar bisikan tradisi tetap terdengar jelas di tengah hiruk pikuk zaman. Kain-kain itu akan tetap berbicara, dengan caranya sendiri, di ruang-ruang yang tepat. Dan sunyi pun, dalam konteks ini, adalah bentuk penjagaan yang paling mendalam. (*)

(Menot Sukadana)