Podiumnews.com / Aktual / Politik

Ormas Preman dan Elite Politik: Lingkaran Setan?

Oleh Editor • 17 Mei 2025 • 01:21:00 WITA

Ormas Preman dan Elite Politik: Lingkaran Setan?
Ilustrasi yang menggambarkan dugaan keterkaitan antara ormas preman dan elite politik. (podiumnews)

DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Fenomena premanisme yang bersembunyi di balik organisasi masyarakat (ormas) bukanlah cerita baru di Indonesia. Bahkan, akar masalah ini ditengarai telah tumbuh subur sejak era Orde Baru, di mana ormas sengaja dibentuk untuk kepentingan politik segelintir golongan. Kini, ormas-ormas serupa masih eksis, melanggengkan praktik-praktik premanisme yang meresahkan dan mengganggu stabilitas sosial.

Mengenai fenomena yang mengakar ini, Dr Aribowo Drs MS, seorang dosen Ilmu Politik dari Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangannya yang tajam. Menurutnya, kemunculan ormas yang kental dengan premanisme dipicu oleh berbagai faktor kompleks.

Salah satu sorotan utama Ari adalah dugaan kuat keterkaitan antara ormas `nakal` dengan elite-elite politik. Ia menilai bahwa menjadi rahasia umum jika oknum-oknum tertentu di lingkaran kekuasaan justru "memelihara" ormas-ormas ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Keterkaitan inilah yang disinyalir menjadi salah satu alasan utama mengapa ormas premanisme sulit diberantas secara tuntas oleh negara.

"Negara itu punya kekuasaan, punya kekuatan, punya peralatan. Jadi mereka bisa lakukan apa saja kepada masyarakat, termasuk ormas itu," ungkap Ari melalui keterangan tertulis, Jumat (16/5/2025). Namun, di sisi lain, ia pesimis ormas-ormas ini dapat dihilangkan sepenuhnya jika kedekatan dengan elite politik masih terjalin erat.

Selain faktor politik, Ari juga menyoroti minimnya lapangan pekerjaan sebagai lahan subur bagi tumbuhnya ormas preman. Ormas kerap hadir di sektor-sektor informal, bahkan ilegal, seperti melakukan pungutan liar kepada UMKM hingga perusahaan. "Jadi ini masyarakat tidak diberikan pekerjaan oleh negara, tetapi negara juga tidak mampu memberikan fasilitas dan tidak punya kreatifitas," papar Ari.

Ia mencontohkan bagaimana pedagang kaki lima yang berjualan di ruang publik seringkali dianggap mengganggu oleh kelompok ekonomi yang lebih tinggi, padahal hal ini bisa jadi merupakan imbas dari kurangnya kesempatan kerja yang layak. Ari menekankan perlunya pengelolaan sumber ekonomi yang melibatkan masyarakat luas, peningkatan keterampilan dan pendidikan, serta penciptaan lapangan kerja agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam aktivitas ilegal yang melibatkan ormas preman.

Meskipun praktik penembakan misterius (petrus) di masa lalu dinilai melanggar HAM, Ari masih optimis negara memiliki cara lain untuk menumpas ormas `nakal`. Namun, ia menekankan bahwa keseriusan negara dalam menindak ormas preman dipertanyakan, terutama jika ada indikasi "pemeliharaan" oleh elite politik.

Dalam konteks ini, Ari mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap keberadaan ormas. Tidak hanya kepada ormas itu sendiri yang nyata-nyata melanggar hukum, tetapi juga kepada negara yang dinilai secara tidak langsung "menyuburkan" premanisme ormas dengan bersikap kurang tegas.

"Supaya masyarakat tidak memberi keleluasaan kepada ormas yang nyata-nyata melanggar hukum," pungkas Ari, menyerukan peran aktif masyarakat dalam menekan ruang gerak ormas premanisme.

Pandangan akademisi UNAIR ini memberikan perspektif penting dalam memahami kompleksitas permasalahan premanisme ormas di Indonesia. Dugaan keterkaitan dengan elite politik menjadi sorotan utama yang mengindikasikan adanya lingkaran setan yang perlu diurai agar penumpasan ormas `nakal` dapat berjalan efektif. (riki/suteja)