Jejak Piksel Para Penguasa
DUNIA politik kita, kini, seperti panggung yang tak lagi terbatas pada gedung-gedung pertemuan atau alun-alun kota. Ia menemukan ruang baru, ruang maya yang tak terduga luasnya. Para politisi lokal, yang dahulunya mungkin hanya dikenal dari baliho usang atau pidato di hadapan segelintir orang, kini menjejakkan kaki di lanskap digital. Media sosial, dari riuhnya TikTok hingga galeri visual Instagram, menjadi semacam etalase, tempat mereka memamerkan diri, gagasan, atau sekadar mencoba menjangkau denyut nadi pemilih.
Pemilu yang lalu menjadi semacam penanda. Kita melihat bagaimana platform-platform digital itu tak lagi sekadar alat bantu, melainkan arena pertarungan yang sesungguhnya. Para politisi, bahkan yang beroperasi di tingkat akar rumput, mau tak mau harus mengakrabi piksel dan algoritma. Ada semacam kesadaran baru bahwa suara pemilih, terutama yang muda dan terbiasa dengan jemarinya menari di layar gawai, kini bersemayam di sana.
Mereka membangun narasi, kadang jenaka, kadang serius. Mereka mencoba menyapa langsung, melompati perantara yang dulu terasa begitu kokoh. Ada semacam upaya untuk mendekatkan diri, menghilangkan jarak antara penguasa dan yang dikuasai, meski seringkali terasa ilusif di balik anonimitas dunia maya.
Namun, lanskap digital ini bukan tanpa kerut. Di balik kemudahan berinteraksi, tersembunyi pula ancaman disinformasi yang bisa menyesatkan, dan manipulasi opini yang dilakukan oleh tangan-tangan tak terlihat. Polarisasi, yang dulu mungkin hanya bergaung di warung kopi atau ruang diskusi, kini menemukan amplifikasinya di ruang-ruang gema digital.
Maka, jejak digital para politisi lokal ini adalah sebuah fenomena yang patut direnungkan. Ia adalah cermin dari zaman yang berubah, di mana batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur. Pertanyaannya kemudian, jejak seperti apa yang akan mereka tinggalkan? Apakah jejak yang membangun jembatan pemahaman, atau justru jejak yang mengikis kepercayaan dan memperdalam jurang perpecahan? Waktu, seperti biasa, akan memberikan jawabannya. Kita hanya bisa mengamati, dengan sedikit skeptisisme dan harapan yang tak pernah sepenuhnya padam.(*)
(Menot Sukadana)