Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Tangan-Tangan yang Merangkai Warisan

Oleh Editor • 19 Mei 2025 • 00:46:00 WITA

Tangan-Tangan yang Merangkai Warisan
Ilustrasi: jeda. (podiumnews)

PAGI itu di Banjar Langon, suara tawa pelan para ibu bersahutan dengan aroma dupa yang menggantung di udara. Di atas meja-meja kayu, janur dan beras bersanding rapi bersama tumpeng-tumpeng kecil. Tidak ada suasana sakral yang kaku, tapi ada rasa khidmat yang lembut. Hangat. Akrab. Seperti sedang menyulam kenangan.

Mereka tak sekadar membuat banten. Mereka sedang merajut kembali sesuatu yang perlahan mulai menghilang: hubungan antara tangan dan tradisi.

Pelatihan membuat Banten Oton Tumpeng Pitu yang digelar Pemerintah Kota Denpasar bersama WHDI itu tak ubahnya sebuah ruang pemulihan. Bukan hanya untuk keterampilan, tapi juga untuk ingatan kolektif. Kita sering lupa bahwa sebelum ada jasa "pesan jadi", upakara-upakara itu lahir dari tangan ibu dan nenek kita sendiri. Dari dapur. Dari pekarangan. Dari tangan yang sehari-hari juga menggendong, menanak, menyiang.

“Kalau anak kita nanti bertanya, kita harus bisa menjelaskan,” kata Ni Wayan Sukerti, narasumber pelatihan itu.

Betapa sederhana, tapi menggetarkan. Karena di balik kalimat itu ada kegelisahan yang kita semua tahu tapi sering enggan hadapi: bahwa generasi sekarang, termasuk saya, bisa jadi lebih fasih memilih paket sesajen via WhatsApp ketimbang tahu filosofi di balik sehelai sesayut.

Tapi pagi itu, janur kembali dilipat dengan sabar. Tangan-tangan yang mungkin dulu sibuk mengetik di ponsel kini tekun menyiapkan Peras Soda dan Pejati. Di tengah tawa dan tanya-jawab, makna-makna yang sempat kabur pelan-pelan menemukan jalannya pulang.

Banten tak lagi sekadar benda. Ia menjadi bahasa. Bahasa yang menghubungkan manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan warisan budayanya sendiri.

Ada semacam perlawanan yang sunyi dalam kegiatan itu. Perlawanan terhadap lupa. Terhadap rasa "tidak bisa" yang lama dipelihara. Terhadap budaya instan yang menggerus nilai dari proses.

“Ini pengingat bahwa saya pun bisa. Dan harus,” kata Ni Nyoman Sariani, salah satu peserta.

Dan saya terdiam. Mungkin kita semua butuh pengingat seperti itu. Bahwa warisan bukan sesuatu yang jauh dan asing. Ia hidup di tangan-tangan kita. Selama kita mau menyentuhnya lagi.

Di Sanur Kaja pagi itu, makna dirangkai ulang. Bukan lewat pidato, tapi lewat anyaman janur. Lewat tumpeng-tumpeng kecil yang dibentuk dengan sabar. Lewat tawa ibu-ibu yang tak hanya membuat banten, tapi juga menghidupkan kembali rasa percaya diri yang dulu pernah hilang.

Tradisi tidak mati. Ia hanya menunggu dipanggil pulang. Dan mungkin, panggilan itu dimulai dari tangan kita sendiri. (*)

(Menot Sukadana)