LANGIT Gianyar tampak teduh menjelang senja, Sabtu (17/5/2025), Stadion Kapten I Wayan Dipta kembali memanggil ribuan orang untuk menyaksikan laga pekan ke-33 BRI Liga 1. Namun sore itu, sepak bola bukan satu-satunya cerita. Di balik duel antara Bali United dan Madura United, ada nuansa lain yang menyelimuti: perpisahan. Bali United takluk 0-2 di kandang sendiri. Dua gol cepat dari Irfan Jauhari dan Lulinha membuat pertandingan terasa berat sejak menit ke-30. Tapi bukan hasil pertandingan yang kemudian tertinggal di ingatan. Bukan pula tentang poin yang hilang. Melainkan tentang sosok yang akan pergi: Stefano “Teco” Cugurra, pelatih kepala, arsitek dua gelar juara, pemimpin yang setia selama enam musim penuh cerita. Setelah peluit panjang dibunyikan, stadion tak serta-merta sunyi. Suasana justru berubah menjadi syahdu. Di tengah lapangan, sebuah seremoni kecil tapi penuh makna digelar. Teco, dengan kemeja berwarna kalem dan langkah tenang, memasuki lapangan ditemani istri dan anaknya. Para pemain membentuk barisan Guard of Honour—barisan penghormatan terakhir bagi sang pelatih. Dari tribun, ribuan suporter menyalakan lampu ponsel, menciptakan pendar cahaya di tengah lapangan yang mulai gelap. Video kilas balik diputar di layar besar: latihan dalam hujan, selebrasi juara, tangisan kemenangan, hingga pelukan usai kekalahan. CEO Bali United, Yabes Tanuri, menyerahkan cinderamata sebagai simbol perpisahan. Di ujung seremoni, Teco mengangkat tangan, menatap tribun, dan berkata pelan: "Bali akan selalu jadi rumah kedua. Terima kasih atas cinta dan dukungannya selama ini." Kapten tim, Ricky Fajrin, berdiri paling depan. Ia tak kuasa menahan air mata. Wajar, Teco bukan sekadar pelatih baginya. Sejak 2019, Ricky dan Teco berjalan bersama—dari musim yang sempurna hingga periode yang penuh tekanan. “Kami tentu kecewa karena tidak bisa memberikan hasil bagus di laga terakhir. Tapi enam tahun bersama Coach Teco adalah perjalanan luar biasa,” ujarnya, jujur, getir, dan tulus. Teco datang ke Bali pada awal 2019. Kala itu, ia baru saja membawa Persija Jakarta juara Liga 1. Banyak yang skeptis. Tapi tekad manajemen jelas: mereka tak mau menjadi nomor dua lagi. “Pak Pieter dan Pak Yabes bilang ke saya waktu itu: kami mau juara. Dan saya paham, itu artinya kerja keras tak boleh ditawar,” kenang Teco. Kerja keras itu berbuah manis. Di musim pertamanya, Bali United tampil dominan dan memastikan gelar Liga 1 2019 bahkan sebelum liga berakhir. Salah satu momen paling membekas bagi Teco terjadi di Padang. “Kami menang di sana dan memastikan juara. Pulang ke Bali, disambut ribuan suporter di bandara. Lalu konvoi, pesta di stadion. Itu luar biasa,” katanya. Tapi masa keemasan tak selalu abadi. Tahun-tahun berikutnya datang dengan tantangan yang tak mudah. Liga dihentikan karena pandemi. Pertandingan tanpa penonton. Musim yang dimainkan secara terpusat. Bahkan laga kandang pun sempat harus digelar di luar Bali. Tapi Teco bertahan. Bersama skuadnya, ia kembali membawa trofi Liga 1 pada musim 2021/22—gelar keduanya bersama Bali United. Musim ini terasa lebih berat. Jadwal padat, badai cedera, keputusan wasit yang sering kontroversial, hingga tekanan dari media sosial membuat atmosfer tim mengeras. Tapi di balik layar, Teco tetap tenang. Ia tak banyak bicara ke publik, tapi konsisten membela pemainnya, menjaga ritme tim, dan menanamkan semangat: kita kerja, kita fokus, kita bersama. Dan kini, semuanya harus berakhir. Teco memutuskan mundur setelah musim ini berakhir. Ia membuka peluang melatih klub lain, baik di dalam maupun luar negeri. Tapi ia pergi dengan kepala tegak dan hati penuh. “Saya keluar baik-baik. Saya suka klub ini—dari presiden, manajemen, pemain, hingga suporter. Semoga Bali United semakin jaya,” ujarnya. Baginya, enam tahun bukan sekadar hitungan waktu. Ia melewati banyak hal: suka, duka, tekanan, kemenangan. Ia merasakan atmosfer penuh di Dipta, dan juga senyapnya stadion tanpa penonton. Ia tahu rasanya menjadi juara, dan pahitnya saat gagal menang di rumah sendiri. Ia menjadi bagian dari Bali—bukan hanya dalam strategi di pinggir lapangan, tapi dalam denyut klub itu sendiri. “Menurut saya banyak hal bagus terjadi selama enam tahun ini. Tentu ada hal yang kurang bagus juga, tapi itu bagian dari sepak bola. Saya bangga pernah menjadi bagian dari Bali United,” kata Teco. Di akhir seremoni, Anthem Bali United menggema dari speaker stadion. Para pemain berdiri melingkar. Sebagian masih menunduk. Ricky Fajrin menatap ke arah bench yang kosong. Ia tak berkata apa-apa. Tapi matanya sudah cukup bercerita. Bali United akan bertandang ke markas Persebaya di pekan terakhir. Tapi panggung kandang sudah selesai. Dan begitu pula bab satu ini dalam sejarah klub. Coach Teco pergi bukan hanya sebagai pelatih. Ia pergi sebagai legenda. Sebagai bagian dari fondasi yang membuat Bali United menjadi seperti sekarang. Ia meninggalkan trofi, tentu. Tapi lebih dari itu, ia meninggalkan keteladanan: kerja keras, kesabaran, dan keteguhan hati. Suatu hari nanti, mungkin ia akan kembali—sebagai lawan, sebagai tamu, atau sebagai sesuatu yang baru. Tapi untuk sekarang, Gianyar melepasnya dengan pelukan panjang. Selamat jalan, Coach Teco. Terima kasih untuk semua musim yang tak tergantikan. (adi/suteja)
Baca juga :
• Dua Jam Dulu, Sehari Kini
• Perempuan, Sepak Bola, dan Sebuah Visi Timur
• Tangis Terakhir di Dipta