Catatan Redaksi di Ujung Tahun Kedelapan
DELAPAN TAHUN. Barangkali itu bukan waktu yang panjang. Tapi juga tak bisa dibilang pendek. Seperti pagi yang berjalan pelan, ia hadir tak selalu untuk dikejar—kadang justru untuk diamati: kabutnya, tenangnya, dan perlahan, cahayanya.
Kami memulai PodiumNews bukan karena visi besar yang ditulis dalam proposal bisnis. Kami memulainya karena tak ada pilihan lain. Satu orang pensiun, dua orang kehilangan pekerjaan. Lalu kami duduk, menatap halaman kosong, dan berkata: mari kita menulis. Mungkin dari situ kami bisa kembali merasa ada.
Media ini lahir seperti itu: dari ruang darurat, dari keyakinan yang remang. Kami bahkan sempat mencetak koran mingguan bernama Podium, yang hanya hidup empat bulan. Setelah itu, kami pindah ke dunia digital. Bukan karena modernisme, tetapi karena keterbatasan. Koran memerlukan mesin, tinta, pengantar. Dunia maya hanya butuh sinyal dan sedikit harapan.
Kami terseok-seok di tahun-tahun awal. Pernah tak bisa membayar honor webmaster. Pernah hanya mengandalkan doa agar tagihan bisa tertunda. Tapi seperti tubuh yang mulai mengenal lelah, kami belajar berjalan pelan. Kami mendirikan badan hukum, menambah satu per satu anggota tim. Kami tidak pernah berlari, tapi terus bergerak.
Hingga kami sampai pada satu kesadaran: bahwa setiap tantangan bukan musuh, melainkan pertanda bahwa kami sedang bertumbuh. Sakit itu tanda saraf hidup. Bingung itu tanda pikiran bekerja. Tersesat itu tanda bahwa kita belum menyerah mencari jalan.
Delapan tahun kemudian, kami masih di sini. Tak besar, tapi juga tak hilang. Kami mulai membangun ekosistem kecil: media gaya hidup bernama UrbanBali, kantor konsultan bernama Podium Kreatif, dan sebuah kedai kopi di pinggir kota yang akan kami beri nama Redaksi. Kami ingin menciptakan ruang—bukan hanya untuk berita, tapi juga untuk jeda.
Karena kami percaya, sebuah media bukan hanya tentang kecepatan. Tapi juga tentang kehadiran. Tentang mendengarkan yang tidak terdengar. Tentang memberi makna pada yang nyaris luput.
Kami tahu dunia media sedang tidak baik-baik saja. Tapi mungkin justru di situlah kami harus berdiri. Di antara yang goyah, barangkali kami bisa menjadi yang tenang. Di tengah yang gaduh, barangkali kami bisa menjadi yang jernih.
Usia delapan tahun, kata orang, adalah usia ketika anak mulai bisa memilih cita-cita. Kami pun kini mulai bertanya: kami ingin jadi media seperti apa? Tak ada jawaban pasti. Tapi mungkin kami ingin menjadi media yang tidak hanya sibuk memburu klik, tapi merawat nurani. Tidak hanya mengabarkan, tapi juga memahami.
Untuk semua yang telah bersedia menemani kami: terima kasih.
Kami tak punya banyak hal. Tapi kami punya satu keyakinan: bahwa apa yang datang dari ketulusan, akan menemukan jalannya sendiri.
Dan jalan itu, semoga masih panjang. (*)
(Menot Sukadana)