Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Aksi Nyata yang Mendesak

Oleh Editor • 20 Mei 2025 • 02:40:00 WITA

Aksi Nyata yang Mendesak
Editorial. (dok/podiumnews)

RENCANA demi rencana, regulasi bertumpuk, sosialisasi masif digembar-gemborkan. Namun, di balik gemerlap retorika pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali, terselip kekhawatiran laten: jangan-jangan semua ini hanya berakhir sebagai notulen rapat yang berdebu. Desakan untuk menginjak bumi, untuk segera mewujudkan aksi nyata di tengah masyarakat, yang mengemuka dalam rapat pematangan peta jalan di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Senin (19/5/2025), adalah alarm yang tak bisa diabaikan.

Koordinator Kelompok Kerja Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai dan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, Luh Riniti Rahayu, dengan nada tegas menyuarakan kegelisahan yang mungkin dirasakan banyak pihak. Perda, Pergub, Surat Edaran – sederet regulasi telah lahir. Edukasi masyarakat gencar dilakukan. Namun, tanpa implementasi yang terukur dan terasa langsung di kehidupan sehari-hari, semua perangkat kebijakan dan upaya penyadaran itu berpotensi kehilangan taji. Kekhawatiran bahwa program ambisius ini hanya akan menjadi bahan diskusi di balik meja rapat, tanpa dampak signifikan di lapangan, adalah bayang-bayang yang menghantui.

Usulan untuk memajukan agenda "turun ke lapangan" – dari awal Juni ke pekan terakhir Mei – adalah langkah yang patut diapresiasi. Ini bukan sekadar soal perubahan jadwal, melainkan sebuah pengakuan akan urgensi tindakan nyata. Kepala DKLH Bali, I Made Rentin, dan para pemangku kepentingan lain tampaknya menyadari bahwa pemahaman dan partisipasi masyarakat tidak bisa tumbuh subur hanya dari ceramah dan spanduk. Keterlibatan langsung, dialog yang terbangun di tengah komunitas, identifikasi kendala riil di tingkat akar rumput, serta demonstrasi praktik pengelolaan sampah yang benar adalah kunci untuk mengubah mindset yang selama ini menjadi fokus utama.

Analisis kritis menunjukkan bahwa selama ini, energi dan sumber daya lebih banyak terkuras pada tahap perencanaan dan regulasi. Sementara itu, implementasi di tingkat masyarakat seringkali berjalan lambat dan kurang terkoordinasi. Kekhawatiran Luh Riniti bahwa program ini hanya akan menjadi "bahan diskusi di atas meja" adalah cerminan dari jurang yang kerap menganga antara idealisme kebijakan dan realitas implementasi.

Percepatan agenda turun ke lapangan ini adalah momentum krusial untuk menguji keseriusan Pemprov Bali dalam menuntaskan persoalan sampah yang kian menggunung. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa komitmen terhadap pengelolaan sampah berbasis sumber bukan sekadar retorika lingkungan, melainkan sebuah gerakan nyata yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Namun, sekadar "turun ke lapangan" saja tidak cukup. Aksi nyata ini harus terencana dengan matang, terukur dampaknya, dan berkelanjutan. Perlu ada pendampingan yang intensif, penyediaan infrastruktur yang memadai di tingkat rumah tangga dan komunitas, serta evaluasi berkala untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang muncul. Tanpa eksekusi yang solid, percepatan ini pun bisa berakhir menjadi sekadar seremoni tanpa perubahan substansial.

Bali, dengan citra pariwisata yang mendunia, memiliki tanggung jawab moral dan ekologis untuk mengatasi masalah sampahnya secara tuntas. Program pengelolaan sampah berbasis sumber adalah harapan. Namun, harapan itu hanya akan bersemi jika retorika di ruang rapat segera bertransformasi menjadi aksi nyata yang mengakar kuat di setiap sudut pulau. Desakan untuk "turun ke lapangan" adalah panggilan untuk bertindak, untuk membuktikan bahwa komitmen Bali terhadap lingkungan bukan sekadar wacana, melainkan sebuah gerakan nyata yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Waktunya bukan lagi berdiskusi, melainkan bekerja. (*)