Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Tampil Boleh, Lengah Jangan

Oleh Editor • 20 Mei 2025 • 23:29:00 WITA

Tampil Boleh, Lengah Jangan
Jeda. (podiumnews)

SELASA sore itu, saya singgah di sebuah sekretariat organisasi media di kawasan Renon. Maksud hati hanya ingin menyeruput kopi dan bersua kawan-kawan wartawan, ternyata pertemuan berkembang jadi diskusi kecil yang cukup hangat. Di sana, saya juga bertemu dengan seorang adik kelas semasa kuliah yang kini telah menjadi pengacara.

Sebagaimana lazimnya obrolan warung kopi yang dihuni para pekerja kata dan wacana, arah percakapan pun tak jauh dari dinamika politik yang tengah terjadi. Dari sekian topik yang muncul, salah satu yang cukup memantik perhatian adalah tren baru: munculnya politisi konten—yakni para pejabat publik, terutama kepala daerah, yang tampak lebih sibuk live di media sosial ketimbang menjalankan fungsi utamanya.

Secara pribadi, saya belakangan ini memang tak terlalu intens mengikuti isu-isu politik. Tapi karena obrolan tadi menyerempet ke wilayah itu, dan beberapa kawan menyodorkan pertanyaan tentang pandangan saya, saya pun merasa perlu menyampaikan apa yang saya pahami.

Fenomena politisi konten, dalam pandangan saya, tak selalu negatif. Di satu sisi, ia bisa menjadi sarana untuk membuka ruang komunikasi yang lebih cair antara pemimpin dan masyarakat. Tapi di sisi lain, jika tak diiringi dengan kedewasaan dan kendali diri, ia bisa berubah menjadi jebakan.

Media sosial adalah pisau bermata dua. Saat politisi sedang viral dan dipuja, ia mudah sekali terperangkap dalam euforia popularitas. Lalu datanglah penyakit lama yang sering kali menghantui para figur publik: star syndrome. Ketagihan tampil, ingin selalu dilihat, didengar, dikomentari. Dalam kondisi seperti itu, kontrol diri bisa goyah. Dan ketika kontrol hilang, blunder tinggal menunggu waktu.

Masalah lain adalah soal jejak digital. Apa yang kita unggah hari ini bisa jadi senjata makan tuan di kemudian hari. Framing bisa dibentuk oleh siapa saja, terutama oleh lawan politik yang tengah menanti celah. Bahkan satu konten yang diniatkan sekadar lucu-lucuan bisa berbalik menjadi bumerang ketika dibaca dalam konteks berbeda.

Saya menyebut fenomena ini sebagai bubble burst—ledakan gelembung pencitraan. Terlalu sibuk membangun citra, sampai-sampai lupa pada tugas utama sebagai kepala daerah. Padahal, jabatan publik tak hanya soal tampil di layar, tapi juga tentang menyelami birokrasi, memahami administrasi, dan menggulirkan kebijakan publik yang menyentuh rakyat. Ketika tanggung jawab itu diabaikan demi konten, maka kepercayaan publik pun bisa luntur. Dan ketika publik mulai kecewa, yang dulu dielu-elukan bisa dengan cepat dijatuhkan.

Lebih jauh lagi, di tahun politik, eksistensi di media sosial bisa dianggap ancaman oleh penguasa atau petahana. Popularitas yang melonjak bisa dibaca sebagai manuver. Dan ketika dianggap sebagai lawan, politisi konten itu bisa saja dihadang dari berbagai arah—secara halus ataupun terang-terangan.

Dalam momen diskusi itu, saya teringat pada petuah Bang Napi yang kerap muncul usai tayangan kriminal di sebuah stasiun TV: "Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan."

Begitu pula dengan jebakan media sosial. Kadang bukan karena niat kita ingin blunder, tapi karena kesempatan tampil selalu terbuka, kita lengah, dan publik pun melihat celah.

Saya lalu menyebut beberapa nama politisi lokal. Ada yang tampak terlalu mencolok di media sosial hingga mulai diserang balik oleh netizen. Tapi ada pula kepala daerah yang sangat cermat. Mereka tahu kapan harus tampil, kapan harus diam. Kapan harus maju, kapan harus menepi. Mereka tampak menghayati betul pesan klasik dari Sun Tzu dalam The Art of War: Kenali dirimu, kenali lawanmu, dan kenali medan perangmu.

Dalam politik, ketepatan membaca situasi adalah kunci. Popularitas bukan segalanya. Yang lebih penting adalah keberlanjutan dan kecerdasan instingtif: mengetahui kapan harus bersuara, dan kapan harus menahan diri.

Karena politik bukan panggung hiburan. Ia adalah ruang tanggung jawab. (*)

(Menot Sukadana)