Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Adat Bali: Antara Gagasan dan Aksi

Oleh Editor • 21 Mei 2025 • 21:05:00 WITA

Adat Bali: Antara Gagasan dan Aksi
Editorial. (Podiumnews)

PERNYATAAN Gubernur Bali, Wayan Koster, terkait kemandirian sistem pemerintahan desa adat ribuan tahun silam, bahkan sebelum konsep trias politika dikenal, adalah sebuah penegasan yang patut direnungkan. Dengan adanya prajuru desa (eksekutif), Saba Desa (legislatif), dan Kertha Desa (yudikatif), leluhur Bali jelas telah mewariskan struktur tata kelola yang teruji dan relevan. Namun, di tengah perayaan kemajuan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita benar-benar berhasil mengukuhkan kembali jati diri ini, ataukah kita hanya merayakan gagasan tanpa implementasi yang mendalam?

Peresmian Bale Kertha Adhyaksa di Kejaksaan Negeri Gianyar, sebagai "rumah restorative justice", memang sebuah langkah maju yang konkret. Inovasi ini memungkinkan penyelesaian sengketa melalui musyawarah di desa adat, mengurangi beban pengadilan umum, dan selaras dengan pengakuan hukum adat dalam KUHP baru. Ini adalah sinyal positif bahwa negara mengakui dan mendukung kearifan lokal dalam sistem hukum formal. Namun, patut dicermati, apakah ini sekadar fasilitas fisik baru, ataukah memang ada pergeseran paradigma menyeluruh di masyarakat dan penegak hukum untuk benar-benar mengedepankan jalur adat?

Gubernur Koster benar saat mengingatkan agar kita tidak terlalu bangga dengan modernisasi lantas meninggalkan budaya dan kearifan lokal. Ini adalah peringatan keras bagi generasi sekarang yang acapkali terperangkap dalam gegap gempita kemajuan tanpa akar. Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat memang pondasi kuat, tetapi sebuah Perda hanya selembar kertas tanpa komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat.

Pertanyaan krusialnya bukan hanya pada dibentuknya Bale Kertha Adhyaksa di lima kabupaten dan menyusul empat lainnya. Lebih dari itu, adalah bagaimana kualitas dan legitimasi proses peradilan adat di Bale Kertha Adhyaksa ini bisa benar-benar dipertahankan dan dipercaya oleh masyarakat. Apakah prajuru yang bertugas memiliki kapasitas memadai? Bagaimana memastikan keputusan adat tidak berbenturan dengan hak asasi manusia modern? Dan yang terpenting, bagaimana mencegah intervensi dari kekuatan non-adat yang bisa merusak kemandirian institusi ini?

Dukungan penuh dari Bupati Gianyar, Ketua DPRD, dan FKPD dalam peresmian ini memang menunjukkan adanya sinergi antarlembaga. Namun, sinergi ini harus terus dipelihara dan diperkuat, bukan hanya di level seremonial. Revitalisasi desa adat bukan hanya soal kembali ke masa lalu, melainkan upaya cerdas untuk mengambil nilai-nilai luhur leluhur dan mengadaptasikannya ke dalam konteks modern. Jika tidak, "kembali ke jati diri" hanyalah slogan kosong di tengah arus modernisasi yang kian deras.

Penguatan desa adat adalah investasi jangka panjang bagi keberlanjutan budaya dan tatanan sosial Bali. Ini adalah tantangan untuk membuktikan bahwa kearifan lokal kita tidak hanya layak dibanggakan, tetapi juga mampu menjadi solusi nyata bagi permasalahan modern. (*)