Catatan Sunyi Seorang Wartawan Jalan Tengah
MUNGKIN tidak ada yang benar-benar tahu di mana batas antara suara dan keheningan. Seorang wartawan yang menepi dari pusat sorak-sorai politik, barangkali mengerti soal itu. Bukan karena ia asing pada keramaian, tapi karena ia pernah tinggal di dalamnya.
Ada masa ketika hidup seperti lintasan cepat. Informasi, siaran pers, tekanan dari kiri dan kanan. Berita harus terbit, dan suara harus dikemas. Tapi setelah sekian waktu, seorang wartawan bisa sampai pada titik lelah. Bukan karena tubuh menua, tapi karena suara sendiri mulai terdengar samar.
Ia mundur. Bukan karena kalah. Tapi karena menang atas sesuatu yang jauh lebih sulit, yaitu ego. Ia keluar dari lingkaran kekuasaan bukan untuk menjadi oposisi, tapi untuk menjadi manusia. Ia tahu, semakin dekat seseorang dengan pusat, semakin besar bayangan yang ditinggalkannya. Dan ia ingin melihat dunia tanpa tertutup bayangannya sendiri.
Ia tidak menggantung pena. Ia masih menulis. Tapi kini bukan untuk mengejar eksklusivitas, atau menjadi yang pertama. Ia menulis untuk menandai jejak. Bahwa ada orang-orang yang hidupnya pelan, yang masih percaya bahwa kata-kata tak harus berisik untuk bisa bermakna.
Ia membuka warung kopi. Tempat di mana berita dan obrolan bisa duduk semeja tanpa perlu rubrik. Di dekat sawah, di antara suara jangkrik dan angin petang, redaksi bukan lagi tempat panik, tapi tempat berbagi. Ia tidak ingin jadi pemilik kebenaran. Ia ingin jadi penjaga suasana.
Beberapa orang menyebutnya lari dari kenyataan. Tapi justru di tempat sunyi itulah ia merasa lebih melihat. Ia tidak lagi mengejar gelar jurnalis independen. Ia tahu, semua kata itu bisa dipakai siapa saja. Tapi sikap, hanya bisa dibuktikan dengan jalan kaki yang panjang dan sunyi.
Kini usianya hampir lima puluh. Ia tak punya target jadi kaya. Ia tak mengejar jabatan. Ia hanya ingin bisa hidup tenang. Bebas dari utang, cukup untuk makan, sehat untuk berjalan, dan punya waktu untuk mendengar suara sendiri tanpa harus menutup suara orang lain.
Ia tahu hidupnya bukan headline. Tapi ia percaya, hidup yang baik tidak selalu ditulis besar di halaman depan. Kadang, hidup yang paling jujur justru tumbuh diam-diam. Seperti padi, seperti doa yang tidak diumbar.
Dan seperti wartawan yang tak perlu mengejar eksklusif, ia percaya satu hal.
Kebenaran kadang tidak perlu diumumkan.
Ia hanya perlu dihidupi. (*)
(Menot Sukadana)