Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Dimulai dari Nol

Oleh Editor • 22 Mei 2025 • 14:02:00 WITA

Dimulai dari Nol
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

 

KADANG kita merasa hidup sudah hambar seperti kopi yang tinggal ampas. Tapi dari situlah—dari sisa yang nyaris dibuang—kita bisa menyeduh ulang harapan. Pelan-pelan. Dari nol.

Kita sering membayangkan hidup sebagai tanjakan menuju puncak—di mana keberhasilan dipajang, nama disebut, dan kekayaan dianggap takdir. Tapi hidup, sesungguhnya, bukan selalu tentang berada di atas.

Ada saat ketika hidup justru membawa kita turun. Ke dasar. Ke titik nol. Tempat di mana tak ada lagi yang bisa dipamerkan. Hanya keheningan, dan mungkin, harapan kecil yang masih menyala samar. Titik itu bukanlah akhir. Karena dalam hidup, satu-satunya akhir adalah kematian.

Saya pernah merasa seperti cangkir kopi yang kosong. Tak ada lagi hangat, tak ada aroma, tinggal sisa pahit yang menempel di dinding cangkir batin. Tapi di warung kopi kecil suatu malam, saya melihat seorang bapak tua menyeruput ulang ampas kopinya, sebelum berkata pelan: “Kadang yang tersisa justru yang menyadarkan.”

Barangkali titik nol itu seperti itu—bukan akhir, tapi pengingat. Seperti pompa bensin di dini hari: kendaraan berhenti, tangki nyaris kosong, dan seorang petugas berkata, “Dimulai dari nol ya, Pak.” Sebuah isyarat bahwa perjalanan boleh saja melelahkan, tapi bisa dimulai kembali. Asal kita mau berhenti sebentar, mengisi ulang, lalu melanjutkan.

Tak ada manusia yang tak pernah berada di bawah. Bahkan nabi pun pernah ditinggal, diragukan, bahkan ditolak. Tapi dari sanalah cerita hidup dimulai. Bukan dari kejayaan, tapi dari kehampaan yang berhasil dilampaui.

Saat berada di titik terbawah, kita mungkin ingin menyerah. Dan itu manusiawi. Kita bukan besi. Kita adalah daging dan luka, darah dan gelisah. Tapi justru di saat-saat seperti itulah—ketika rapuh dan hancur—kita sedang dibentuk.

Seperti pedang: tak lahir dari kemewahan, tapi dari api dan tempaan.
Seperti otot: tak menguat karena diam, tapi karena dilukai berulang-ulang, lalu pulih.
Dan seperti kopi: rasa terbaiknya bukan selalu dari seduhan pertama, tapi dari biji yang disangrai sabar, digiling tepat, dan diseduh dalam keheningan.

Maka, barangkali tak perlu malu jika harus mulai dari awal. Karena awal tak pernah benar-benar kecil, selama kita tahu ke mana akan melangkah.

Dan seperti kopi yang kita kira sudah habis, hidup—selama belum mati—selalu menyisakan hangatnya. Kita hanya perlu cukup tenang untuk menyeduhnya kembali. Dari nol. Dari batin. Dari keyakinan bahwa hidup tidak harus sempurna untuk layak dijalani. (*)

(Menot Sukadana)