KASUS Taylor Kirby Whitemore bukan sekadar berita kriminal biasa. Ini adalah alarm keras yang menyoroti sisi gelap eksotisme Bali: pulau yang konon spiritual dan damai ini, perlahan berubah jadi "zona abu abu" bagi warga asing. Mulai dari produksi konten pornografi, operasional judi online, hingga penanaman ganja semua dilakukan diam-diam di balik tembok vila-vila sewaan yang tak terdaftar. Whitemore, warga negara Amerika Serikat, hanyalah satu contoh dari sekian banyak WNA yang lihai memanfaatkan celah pengawasan properti wisata di Bali. Dengan visa kunjungan, ia menyulap vila pribadi jadi studio sunyi, memproduksi video porno yang lantas dijual lewat media sosial dan forum berbayar. Praktik serupa tak hanya sekali ini. Dalam tiga tahun terakhir, banyak kasus mencuat dari Ubud hingga Gunung Batur. Polanya sama: terjadi di vila, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan lolos dari radar pemerintah daerah. Ini menegaskan satu hal penting yang tak bisa ditunda lagi: Pemerintah Daerah Bali wajib segera mendata dan menertibkan seluruh vila serta properti sewa jangka pendek di wilayahnya. Banyak dari vila-vila ini beroperasi tanpa izin usaha pariwisata yang jelas, tak tercatat dalam sistem pendataan resmi, bahkan ada yang dibeli atau dikelola pihak asing melalui perantara lokal. Ironisnya, vila-vila tersebut sering dipromosikan sebagai "tempat aman, sepi, dan privat" frasa yang, dalam konteks keliru, justru menjadi undangan terbuka bagi pelaku kriminal digital dan pelanggar norma. Peran pemerintah daerah sangat krusial. Jangan cuma mengandalkan Ditjen Imigrasi atau Kemenkumham untuk mengejar pelanggar setelah kejahatan terjadi. Bali sebagai daerah otonom juga bertanggung jawab penuh atas setiap ruang tinggal dan usaha di wilayahnya. Penataan regulasi vila, pengawasan penggunaan properti, serta koordinasi lintas instansi semuanya harus dijalankan secara sistematis dan berkelanjutan. Langkah awal yang paling mendesak adalah pendataan ulang. Pemerintah Bali perlu menyisir semua properti sewa jangka pendek, dari vila mewah di Canggu hingga penginapan tersembunyi di Ubud. Setelah data terkumpul, sistem pengawasan berbasis laporan warga lokal dan integrasi dengan dinas pariwisata harus segera dibangun. Pengelola vila juga wajib melaporkan setiap tamu yang menginap, layaknya sistem hotel. Mencegah tentu lebih baik daripada memburu. Jika tak segera diatur, dikhawatirkan Bali akan terus jadi sarang nyaman bagi WNA yang ingin menghindari hukum di negara asalnya. Sementara itu, masyarakat lokal hanya bisa melihat tanahnya sendiri digunakan untuk praktik yang merusak hukum dan nilai budaya. Pulau Dewata tak boleh menjadi pulau tanpa aturan. Langkah cepat, konkret, dan berani dari pemerintah daerah adalah satu satunya cara agar Bali tetap menjadi surga bukan bagi pelaku kejahatan, tapi bagi mereka yang sungguh menghormati hukum dan budaya Indonesia. (*)
Baca juga :
• Pancasila dan Sumpah yang Terlupa
• Sampah yang Tak Pernah Usai
• Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan