Search

Home / Kolom / Opini

Darman Dulu Menyalak, Kini Berdansa dengan Kekuasaan

Dewa Fatur   |    23 Mei 2025    |   22:37:00 WITA

Darman Dulu Menyalak, Kini Berdansa dengan Kekuasaan
Potret ilustratif bergaya vektor dari seorang jurnalis muda yang merepresentasikan semangat kritis dan independen di tengah tantangan era media modern. Visual ini menjadi pengingat bahwa keberanian bersuara tetap relevan di tengah derasnya arus kompromi. (Foto: Dewa)

TANGAN mengetik di atas meja kayu, suara mesin tik tua itu pernah menyuarakan perlawanan. Di ruang sempit dengan lampu remang, Darman jurnalis fiksi dalam Jalan Menikung karya Y.B. Mangunwijaya menulis dengan amarah, dengan semangat, dan dengan keberanian.

Ia adalah pengingat bahwa jurnalisme pernah tajam. Bahwa kalimat bisa menggetarkan kekuasaan. Bahwa halaman koran bukan hanya tempat iklan, tapi medan pertempuran gagasan.

Namun seperti judul novel itu sendiri, jalan Darman tidak lurus. Ia menikung. Menepi. Dan akhirnya menyatu.

Darman yang dulu menulis kritik tentang elit, kini duduk di ruangan berpendingin bersama mereka. Ia yang dulu menyergah dengan pertanyaan, kini mengangguk dalam rapat.

Ia masih menulis. Tapi kini isinya “aman”. Ia masih hadir di konferensi pers. Tapi kini ia bertanya hanya untuk formalitas. Ia masih percaya pada perubahan, katanya hanya bentuknya kini lebih “dewasa”.

Darman-Darman baru itu hidup di sekitar kita.

Jurnalis yang dulu menyalak lantang di meja redaksi, kini berdansa di pesta yang sama dengan narasumber yang dulu ia kritik.

Mereka yang dulu menyusun tajuk runcing soal kekuasaan, kini menulis naskah sambutan untuk pejabat yang sama.

Mereka yang dulu mengecam kekaburan informasi, kini menyembunyikan laporan investigasi karena “sudah tidak strategis”.

Seorang jurnalis senior pernah berkata, “Kita harus menjaga jarak dari kekuasaan, karena kedekatan membuat kita buta, dan kenyamanan membuat kita lupa.”

Tapi banyak dari mereka kini lebih sibuk menghitung engagement dan follower, ketimbang menyusun pertanyaan yang tak enak dibaca oleh penguasa.

Bukan karena tak boleh berubah. Tapi karena kehilangan arah.

Jurnalisme selalu berada di antara idealisme dan realitas. Tapi jika akhirnya semua kritik ditangguhkan demi relasi, semua naskah dibungkam demi undangan, semua nyala hati padam demi posisi maka yang tersisa hanya kulit profesi.

“Tujuan pers bebas adalah untuk melindungi yang lemah dari yang kuat,” kata AJ Liebling, jurnalis legendaris The New Yorker.

Tapi ketika kebebasan pers justru digunakan untuk menjaga kedekatan dengan kekuasaan, siapa yang menjaga suara rakyat?

Mochtar Lubis pernah menulis bahwa wartawan sejati harus memiliki keberanian moral, tidak hanya cerdas dan jujur, tapi juga siap menjadi musuh kekuasaan jika kekuasaan itu menyimpang.

“Kalau wartawan takut, maka demokrasi sekarat,” begitu ia pernah memperingatkan.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam The Elements of Journalism, menulis bahwa “kesetiaan utama jurnalis adalah kepada warga, bukan kepada penguasa.”

Namun di banyak ruang redaksi hari ini, kesetiaan itu tampak telah dialihkan ke undangan makan siang, jabatan penasihat, atau kemasan narasi yang bersahabat dengan sponsor.

Apakah yang tersisa dari seorang jurnalis, jika keberaniannya dicicil oleh kenyamanan?

Sejumlah redaksi kini lebih mirip biro komunikasi. Wartawan bukan lagi saksi mata, tapi penerima titipan. Kritik tajam disimpan, diganti dengan “catatan ringan.” Investigasi digeser dengan feature empati tentang pejabat yang “manusiawi.”

Darman tidak mati dalam cerita. Ia hanya kehilangan nyala. Tapi yang lebih menyedihkan dari kehilangan idealisme, adalah ketika kehilangan itu dianggap biasa.

Pertanyaan pun muncul di tengah lahirnya Darman masa kini.

Jika jurnalis tak lagi menggonggong pada kekuasaan, maka siapa yang menjaga suara yang dibungkam?

Bila pena tak lagi menggugah, lalu apa bedanya ia dengan mikrofon kekuasaan?

Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa. S.Pd /Pekerja media

 

Baca juga :
  • Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya
  • Xana, Enrique dan Paris Saint-Germain
  • Orang Bali Takut Marah?