KASUS Ni Nyoman Reja (93), yang duduk sebagai terdakwa dalam perkara dugaan pemalsuan silsilah keluarga di PN Denpasar, membuka wajah lain dari proses hukum yang dijalankan negara. Di usia senja, beliau bahkan harus dipapah ke dalam ruang sidang dan menggunakan kursi roda. Cerita ini menimbulkan pertanyaan: ketika hukum dijalankan, apakah kehormatan dan kesejahteraan terdakwa juga diperhatikan? Tim kuasa hukum berharap kasus ini tidak berhenti pada tuntutan formal, melainkan berakhir dengan pembebasan karena putusan sebelumnya menyatakan tidak dapat diterima di ranah perdata. Menurut para ahli hukum, seperti yang disampaikan dalam KITAB KUHAP, seharusnya proses pidana menghormati asas keadilan dan kepatutan. Apalagi jika terdakwa sudah lanjut usia, kondisi fisik dan mentalnya menjadi pertimbangan penting. Buku-buku hukum prosedural menekankan pentingnya unsur?proporsionalitas. Proses harus sesuai dengan nilai rasa keadilan: tidak hanya menuntut formalitas, tetapi juga menjaga martabat manusia. Misalnya, dalam Hukum dan Etika Peradilan, disebutkan bahwa “peradilan seharusnya memberikan perlindungan dan bukan menambah luka” bagi mereka yang rentan. Dalam kasus Nenek Reja, belum ada bukti bahwa ia sengaja berniat menipu atau merugikan orang lain secara nyata. Bahkan keluarganya menyebut bahwa nenek hanya menggunakan cap jempol sebagai bentuk persetujuan sederhana untuk hal-hal kecil. Negara memang wajib menegakkan hukum. Namun, ketika pelakunya adalah sosok renta, yang kesehariannya terbatas dan kemampuan mengingat dipertanyakan, maka hati nurani juga harus ikut bicara. Semoga persidangan ini bisa berjalan dengan adil mengedepankan kemanusiaan bersama keadilan hukum. Nenek Reja, setidaknya, pantas mendapat belas kasih sejajar dengan proses formal yang sedang berjalan. (*)
Baca juga :
• Pancasila dan Sumpah yang Terlupa
• Sampah yang Tak Pernah Usai
• Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan