Sanur Sore, Penida dalam Ingatan
MINGGU SORE. Kami bertiga duduk di sebuah rumah makan yang cukup dikenal di Pantai Sanur. Dua dari kami sedang “glatak-gletek”—waktu di mana wartawan kehilangan rasa mendesak, kehilangan bahan untuk digarap, dan untuk sementara kehilangan semangat mencari. Kami hanya duduk, menyeruput kopi, menatap lalu-lalang turis dengan ransel dan koper menuju pelabuhan yang kini lebih modern. Mereka datang dalam gelombang, menuju seberang: ke Pulau Nusa Penida.
“Ramai juga sekarang yang ke Penida,” ujar saya, seperti berbicara ke diri sendiri.
Saya teringat setahun silam, saat dua kali menyebrang ke pulau itu. Penida yang kini terasa sempit karena padat. Jalan-jalannya macet, spot-spot wisatanya antrean. Sama seperti Kuta, Canggu, dan Ubud—tiga nama yang kini berarti: terlalu banyak. Semua ingin melihat sudut yang pernah sunyi, memotret tebing, mencelup kaki ke laut yang dulu jernih.
Tapi dulu—dua belas tahun lalu—Penida lain. Sebuah pulau dengan hamparan sepi dan suara angin. Lautnya terasa lebih panjang, pantainya lebih pribadi. Saat itu, saya nyaris tak menjumpai satu pun turis. Hanya warga, dan sunyi yang hangat.
Saya juga pernah mendengar cerita dari kakak saya, lima atau enam tahun lalu. Ia rutin pulang-pergi ke sana. Ia bilang, “Sekarang ramai.” Tapi ramai kadang bukan hanya jumlah. Ramai juga bisa berarti: tak lagi kita kenal.
Salah seorang teman saya yang sore itu masih “glatak-gletek” bercerita tentang seorang temannya, yang hampir setiap bulan membawa keluarganya berlibur ke Penida. Ia sendiri, katanya, punya keinginan yang sama. “Anak-anak kadang menyimpan kenangan dari satu momen,” ujarnya, sambil menatap jauh, entah ke laut atau ke masa depan.
Matahari semakin turun. Kami bersiap hendak pulang. Tapi pemilik rumah makan—seorang pria, umurnya lebih tua sedikit dari kami—menyarankan kami menunggu. “Biasanya jam enam begini macet. Nanti jam delapan malam baru turis-turis keluar cari makan,” katanya santai.
“Mungkin mereka pun menghindari macet,” ujar saya, lebih seperti menyambung napas.
Obrolan kami lalu berlanjut tentang rencana penataan kawasan sekitar pelabuhan Sanur oleh pemerintah daerah. Tentang kemacetan, tentang arah perahu, tentang tempat yang berubah begitu cepat. Dan tentang kita yang kadang hanya bisa mengingat, bukan menjaga.
Sanur sore itu tetap indah. Tapi entah mengapa, saya merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa saya tunjukkan. Seperti laut yang perlahan bergeser, seperti pulau yang tak sepenuhnya sama.
Karena yang paling lekat dari suatu tempat bukanlah bentuknya—tetapi rasa yang pernah tinggal di dalamnya. (*)
(Menot Sukadana)