Yang Diam Dihormati
SAAT langit mulai meredup, saya membaca ulang sebuah artikel kecil tentang Putri Anne. Tidak viral. Tidak bombastis. Tapi seperti kopi yang sudah mulai dingin—diam-diam masih menyimpan rasa.
Di keluarga kerajaan Inggris yang penuh sorotan, drama, dan gelar yang kadang lebih berat dari emas, Putri Anne seperti berjalan di lorong paling sunyi. Ia tidak pernah jadi headline karena busana mewah, tidak pernah muncul di acara gosip pagi, tidak juga punya pengikut jutaan di media sosial. Tapi ia hadir. Selalu hadir. Diam-diam tapi konsisten.
Ia adalah anak perempuan satu-satunya dari Ratu Elizabeth II. Ia tidak diberi sorotan sebesar Charles, tidak setenar Diana, tidak semewah Meghan, tidak semisterius Harry. Tapi selama bertahun-tahun, ia adalah anggota keluarga kerajaan yang paling banyak bekerja. Paling banyak tugas publik. Paling jarang mengeluh.
Anne juga menolak gelar untuk anak-anaknya. Ia ingin mereka tumbuh bebas, tanpa beban simbol dan sorotan. Dan benar saja, anak-anaknya—Peter dan Zara—tumbuh jadi pribadi yang dewasa, sederhana, dan dihormati publik Inggris. Tanpa mahkota. Tanpa panggung.
Di tengah dunia yang makin bising ini, saya seperti belajar ulang sesuatu yang lama saya lupakan: bahwa tidak semua yang besar harus berisik, dan tidak semua yang dihormati harus muncul di layar.
Zaman sekarang ini kadang terasa seperti kontes tak berkesudahan. Siapa yang lebih viral? Siapa yang lebih sensasional? Bahkan kehormatan kini bisa dipesan dengan algoritma, dan kebijaksanaan bisa tenggelam hanya karena tidak tampil.
Tapi Putri Anne berdiri sebagai anomali yang tenang. Ia tidak menuntut perhatian, tapi kehadirannya dirindukan. Ia tidak meminta panggung, tapi tetap jadi poros dari banyak hal yang berjalan. Ia adalah wibawa dalam kesederhanaan. Karakter dalam ketekunan. Bukan karena garis keturunan, tapi karena pilihan hidup yang dijalaninya.
Dan saya berpikir, mungkin memang begitu seharusnya kita hidup. Tidak untuk menjadi pusat perhatian, tapi untuk hadir dengan makna. Tidak untuk mencari gelar, tapi untuk menjadi pribadi yang tetap utuh bahkan saat tidak dilihat siapa-siapa.
Di antara ribuan suara yang berlomba didengar, mereka yang memilih diam—justru membawa gema paling dalam.
Ia seperti kopi tanpa gula tambahan, tanpa krim buatan, tanpa perlu diblender agar terdengar. Ia cukup diseduh, disajikan, dan dibiarkan menyampaikan rasa secara perlahan. Tanpa perlu dipromosikan, ia menemukan tempatnya sendiri—di lidah orang yang paham, di hati mereka yang mengerti. (*)
(Menot Sukadana)